Marquque

Isa bin Wardah pernah ditanya :" apa keinginan tertinggi anda di dunia? ia langsung menangis kemudian berkata : "aku ingin dadaku terbuka, lalu aku akan melihat hatiku, apa pengaruhnya al- Qur'an terhadapnya?"

Jumat, 28 Oktober 2011

Orang Cerdas Tidak Melewatkan Kesempatan Emas Di Bulan Dzulhijjah

Para pembaca…semoga Anda selalu dalam keadaan sehat, penuh iman.

Termasuk tingkat kejeniusan yang sangat tinggi adalah mengenal kesempatan-kesempatan emas, waktu-waktu berharga, keadaan-keadaan penting yang disebutkan di dalam syariat Islam berdasarkan Al Quran dan hadits shahih, dan tidak membiarkan kesempatan, waktu dan keadaan tersebut terbuang percuma tanpa diisi dengan amal shalih. Termasuk di dalamnya KESEMPATAN EMAS DI BULAN DZULHIJJAH!!!

Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhum berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهَا أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ هَذِهِ الْأَيَّامِ يَعْنِي أَيَّامَ الْعَشْرِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَلَا الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ قَالَ وَلَا الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ إِلَّا رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَيْءٍ .

Artinya: “Tiada hari-hari yang amal shalih di dalamnya lebih dicintai Allah daripada hari-hari ini”. yakni 10 hari pertama dari bulan Dzulhijjah, mereka (para shahabat) bertanya: “Wahai Rasulullah, dan tidak juga berjihad di jalan Allah (lebih utama darinya)?”, beliau bersabda: “Dan tidak juga berjihad di jalan Allah (lebih utama darinya), kecuali seseorang yang berjuang dengan dirinya dan hartanya lalu ia tidak kembali dengan apapun”. (HR. Bukhari dan Muslim)

Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“مَا مِنْ أَيَّامٍ أَعْظَمُ عِنْدَ اللَّهِ وَلَا أَحَبُّ إِلَيْهِ مِنْ الْعَمَلِ فِيهِنَّ مِنْ هَذِهِ الْأَيَّامِ الْعَشْرِ فَأَكْثِرُوا فِيهِنَّ مِنْ التَّهْلِيلِ وَالتَّكْبِيرِ وَالتَّحْمِيدِ”.

Artinya: “Tiada hari-hari yang lebih agung di sisi Allah dan yang lebih ia cintai untuk beramal di dalamnya daripada 10 hari ini, maka perbanyaklah membaca tahlil, takbir, dan tahmid di dalamnya”. (HR. Ahmad dan di shahihkan oleh Al Mundziry dan Ahmad Syakir tetapi dilemahkan oleh Al Albani di dalam kitab Dha’ih At Targhib wa At Tarhib, 744)

Abu Qatadah Al Anshari radhiyallahu ‘anhu berkata:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- سُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَرَفَةَ فَقَالَ « يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ وَالْبَاقِيَةَ ». رواه مسلم

Artinya: Bahwa Rasulullah ditanya tentang puasa Hari Arafah: “Menghapuskan (dosa-dosa) setahun lalu dan setahun yang akan datang”. (HR. Muslim)

Dari Hadits-hadits di atas dianjurkan untuk memperbanyak amal shalih di 10 hari pertama bulan Dzulhijjah, seperti; Menunaikan haji dan umrah, berpuasa, berkurban, bertakbir, bertahmid dan bertasbih serta bertahlil, serta amal shalih lainnya.

Kenapa dianggap cerdas orang yang menggunakan kesempatan emas ini?

1) Karena mungkin ini adalah ibadah terakhir dan ini pertanda baik dari Allah Ta’ala.
عَنْ أَنَسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِعَبْدٍ خَيْرًا اسْتَعْمَلَهُ ». فَقِيلَ كَيْفَ يَسْتَعْمِلُهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ « يُوَفِّقُهُ لِعَمَلٍ صَالِحٍ قَبْلَ الْمَوْتِ ».

Artinya: “Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Jika Allah menginginkan kebaikan untuk seorang hamba maka dia akan memakainya”, beliau ditanya: “Bagaimana Allah akan memakainya, wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam?”, beliau menjawab: “Allah akan memberinya petunjuk untuk beramal shalaih sebelum meninggal”. (HR. Tirmidzi dan dishahihkan di dalam kitab shahih Al Jami’, no. 304)

2) Karena mungkin kesempatan ini tidak akan kembali lagi.

3) Karena mungkin jika kesempatan ini kembali kita tidak dalam keadaan sehat dan mampu beramal shalih.
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِرَجُلٍ وَهُوَ يَعِظُهُ: ” اغْتَنِمْ خَمْسًا قَبْلَ خَمْسٍ , شَبَابَكَ قَبْلَ هَرَمِكَ , وَصِحَّتَكَ قَبْلَ سَقَمِكَ , وَغِنَاكَ قَبْلَ فَقْرِكَ , وَفَرَاغَكَ قَبْلَ شُغُلُكَ , وَحَيَاتَكَ قَبْلَ مَوْتِكَ “

Artinya: “Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda menasehatinya: “Gunakanlah dengan baik lima perkara sebelum datang lima (yang lain): MASA MUDAMU SEBELUM DATANG MASA TUAMU, SEHATMU SEBELUM DATANG SAKITMU, KAYAMU SEBELUM DATANG FAKIRMU, WAKTU LUANGMU SEBELUM DATANG WAKTU SIBUKMU DAN HIDUPMU SEBELUM DATANG MATIMU”. (HR. Al Hakim, Al Baihaqi dan di shahihkan di dalam kitab Shahih Al Jami’, no. 1077)
وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ يَقُولُ إِذَا أَمْسَيْتَ فَلاَ تَنْتَظِرِ الصَّبَاحَ ، وَإِذَا أَصْبَحْتَ فَلاَ تَنْتَظِرِ الْمَسَاءَ ، وَخُذْ مِنْ صِحَّتِكَ لِمَرَضِكَ ، وَمِنْ حَيَاتِكَ لِمَوْتِكَ .

Artinya: “Abdullah bin Umar senantiasa mengucapkan: “Jika kamu masuk waktu sore maka janganlah menunggu waktu pagi dan jika kamu masuk waktu pagi maka janganlah menunggu waktu sore, pergunakanlah kesehatanmu untuk sakitmu dan kehidupanmu untuk kematianmu”. (HR. Bukhari)

4) Karena sifat malas adalah sifatnya munafik.
{إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلَاةِ قَامُوا كُسَالَى يُرَاءُونَ النَّاسَ وَلَا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا قَلِيلًا }

Artinya: “Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk salat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan salat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali”. (QS. An Nisa: 142)
{وَمَا مَنَعَهُمْ أَنْ تُقْبَلَ مِنْهُمْ نَفَقَاتُهُمْ إِلَّا أَنَّهُمْ كَفَرُوا بِاللَّهِ وَبِرَسُولِهِ وَلَا يَأْتُونَ الصَّلَاةَ إِلَّا وَهُمْ كُسَالَى وَلَا يُنْفِقُونَ إِلَّا وَهُمْ كَارِهُونَ }

Artinya: “Dan tidak ada yang menghalangi mereka untuk diterima dari mereka nafkah-nafkahnya melainkan karena mereka kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka tidak mengerjakan sembahyang, melainkan dengan malas dan tidak (pula) menafkahkan (harta) mereka, melainkan dengan rasa enggan”. (QS. At Taubah:54)

Mari perhatikan perkataan yang sangat luar biasa ini …terutama bagi pemalas beribadah…

Berkata Syeikh Al Mufassir Abdurrahman bin Nashir As Sa’dy rahimahullah:
والكسل لا يكون إلا من فقد الرغبة من قلوبهم، فلولا أن قلوبهم فارغة من الرغبة إلى الله وإلى ما عنده، عادمة للإيمان، لم يصدر منهم الكسل تفسير السعدي (ص: 210)

Artinya: “Sikap malas tidak akan ada kecuali bagi siapa yang telah kehilangan keinginan (terhadap kebaikan) dari hati-hati mereka, maka kalau seandainya hati-hati mereka tidak terlepas dari keinginan kepada Allah dan (keinginan) kepada apa yang ada di sisi-Nya (yang disediakan-Nya berupa nikmat) dan hilangnya iman, maka tidak akan keluar dari mereka sikap malas”. (Lihat tafsir As Sa’diy, hal. 210)

Selasa 27 Dzulhijjah 1432H
Dammam, KSA

Penulis: Ustadz Ahmad Zainuddin

Rabu, 31 Agustus 2011

MASAA-IL HARI RAYA




Dalam menentukan hari raya, Pemerintah tidak lepas dari dua hal. Yaitu, keputusannya sesuai dengan syari’at, dan keputusannya yang tidak sesuai dengan tuntunan syari’at, penjelasannya sebagai berikut.



Pertama

Jika keputusan dalam menentukan hari raya telah sesuai dengan syari’at, yaitu menggunakan ru’yah hilal, atau menyempurnakan bilangan bulan Ramadhan tatkala hilal tertutup awan, maka dalam hal ini tidak ada alasan bagi seorang muslim untuk keluar dan membangkang terhadap orang yang telah Allah jadikan sebagai waliyyul amril mukminin



Permasalahan : Jika seseorang melihat hilal sendirian, apakah dia boleh berbuka dan berhari raya sendiri?



Jawaban.

Dalam hal ini, para ulama mempunyai dua pendapat yang masyhur.



A). Dia tidak dibenarkan berbuka. Tetapi, hendaklah dia berbuka dan berpuasa dengan kaum muslimin. Demikian ini adalah madzhab jumhur ulama Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah. Lihat Fathul Qadir bersama Hidayah (2/325), Al-Qawanin, Ibnu Juzaiy (102), Al-Inshaf, Al-Marsawi (3/278).

dan juga pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata : “Dan demikian ini adalah pendapat yang terkuat, sesuai dengan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : ‘Puasa kalian adalah pada hari kalian berpuasa. Dan berbuka kalian, ialah pada hari kalian berbuka. Dan hari penyembelihan kalian, ialah hari ketika kalian (semua) menyembelih”.



Dalam mensyarah hadits diatas Tirmidzi berkata : “Sebagian ahli ilmu menafsirkan hadits ini ; mereka mengatakan, berpuasa dan berbuka bersama jama’ah”. Lihat Sunan Tirmidzi bersama Tuhfah (3/383)



B). Dan dibenarkan untuk berbuka secara sembunyi. Demikian ini madzhab Syafi’iyyah, sebagian Hanafiyah & Hanabilah. (Lihat Majmu Syarah Muhazzah, Nawawi 96/286)



Dr Ahmad Muwafi berkata : Sebenarnya pendapat Syafi’iyyah dalam bab ini cukup kuat ; karena berpuasa dan berbuka berkaitan dengan ru’yah, dan dia telah yakin melihat hilal Syawal. Dan ini cukup baginya untuk tidak berpuasa. Bagaimana dia dituntut untuk berpuasa, padahal dia yakin bahwa ia telah keluar dari puasa wajib? Ini tidak bertentangan dengan hadits “ Puasa kalian adalah pada hari kalian berpuasa. Dan berbuka kalian, ialah pada hari kalian berbuka. Dan hari penyembelihan kalian, ialah hari ketika kalian (semua) menyembelih”. Karena tujuan akhir dari hadits tersebut, ialah menganjurkan kepada kaum muslimin yang telah melihat hilal sendirian dan tidak terlihat oleh yang lainnya. Kalau tidak, dia sembunyikan puasanya dengan selalu menampakkan apa yang dilakukan oleh jama’ah, atau dia dianjurkan berpuasa, untuk mensepakati jama’ah kaum muslimin, dan berbuka ketika kalian semua berbuka...." Wallahu Ta’ala a’lam.

(Taisir Al-Fiqh Al-Jami Lil Ikhtiaratil Fiqhiyyah Li Syaikhul Islam Ibni Taimiyah, 1/449-450 )



Kedua

Jika pemerintah membuat keputusan yang salah dalam menentukan hari raya, misalnya dengan menggunakan hisab, atau mengikuti penanggalan di kalender, atau dengan semisalnya yang tidak ada tuntunannya dalam syari’at, maka –wallahu ‘alam- tidak ada alasan bagi seorang muslim untuk berhari raya sendiri-sendiri. Mereka tetap diharuskan untuk berhari raya bersama kebanyakan kaum muslimin, dalam hal ini bersama pemerintah ; demi menjaga persatuan dan tidak jatuh ke dalam jurang perpecahan. Sesuai dengan sabda Rasulullah : “Puasa kalian adalah pada hari kalian berpuasa. Dan berbuka kalian, ialah pada hari kalian berbuka. Dan hari penyembelihan kalian, ialah hari ketika kalian (semua) menyembelih”.



Ash-Shan’ani, ketika mensyarah hadits ini berkata : “Dalam hadits ini, dalil yang menetapkan hari raya sesuai dengan (kebanyakan) manusia karena orang yang sendirian mengetahui hari raya dengan ru’yah, wajib baginya untuk mengikuti orang lain dan diharuskan shalat, berbuka dan kurban bersama dengan mereka. (Subulus Salam, 2/134)



Dosakah Meninggalkan 1 Hari Puasa Karena Berpegang Pada Hisab?



Kita tahu bahwa tidak ada dalil yang mendasari penentuan 1 Syawal dengan hisab falaki dan tidak ada ulama madzhab yang menggunakan metode tersebut. Para ulama telah ber-ijma’ bahwa penentuan 1 Ramadhan dan 1 Syawal adalah dengan ru’yatul hilal. Artinya, permasalahan ini bukanlah ranah khilafiyyah diantara para ulama yang mengharuskan kita toleran terhadap pendapat yang ada. Adapun perkara ini menjadi ‘khilafiyyah‘ diantara orang awam, maka ini tidak memiliki arti apa-apa karena sudah sunnatullah bahwa orang awam yang tidak memiliki pemahaman yang baik dalam agama itu akan terus berselisih dan berbeda-beda.

Jika sudah jelas ini bukan perkara khilafiyyah, kemudian yang menjadi pertanyaan, jika ada orang yang hanya berpuasa 29 hari, padahal pemerintah dengan ru’yatul hilal menentukan puasa Ramadhan 30 hari, bagaimana status puasa 1 hari yang ditinggalkan tersebut? Berdosakah ia karena tidak berpuasa 1 hari? Padahal yang menjadi dasar orang-orang awam berpuasa hanya 29 hari ini karena ikut ormas tertentu, bahkan sebagian beralasan ‘saya cuma ikut suami‘, ‘saya ikut bapak saya‘, ‘saya ikut masjid anu‘, ‘saya ikut kebanyakan orang RT sini‘, dan alasan-alasan lain yang tentunya bukan alasan yang syar’i. Kalau kita renungkan, sungguh mereka berani sekali meninggalkan 1 hari puasa karena alasan-alasan lucu ini. Namun, apakah ia berdosa karena meninggalkan puasa disebabkan alasan yang tidak syar’i ini?

Ketika ditanyakan hal yang serupa, Syaikh Abdullah Al Faqih -hafizhahullah- menjawab:

فمن المعلوم أن تحديد بداية الشهر ونهايته بناء على الحساب الفلكي خلاف الإجماع؛ كما نص على ذلك أهل العلم، قال شيخ الإسلام ابن تيمية ـ رحمه الله تعالى

“Kita tahu bersama bahwa menjadikan hisab falaki sebagai patokan penentuan awal bulan adalah hal yang bertentangan dengan ijma’, sebagaimana dikatakan oleh para ulama. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu Ta’ala berkata:

فَإِنَّا نَعْلَمُ بِالِاضْطِرَارِ مِنْ دِينِ الْإِسْلَامِ أَنَّ الْعَمَلَ فِي رُؤْيَةِ هِلَالِ الصَّوْمِ أَوْ الْحَجِّ أَوْالْعِدَّةِ أَوْالْإِيلَاءِ أَوْغَيْرِ ذَلِكَ مِنْ الْأَحْكَامِ الْمُعَلَّقَةِ بِالْهِلَالِ بِخَبَرِالْحَاسِبِ أَنَّهُ يُرَى أَوْ لَا يُرَى لَا يَجُوزُ، وَالنُّصُوصُ الْمُسْتَفِيضَةُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِذَلِكَ كَثِيرَةٌ، وَقَدّ أَجْمَعَ الْمُسْلِمُونَ عَلَيْهِ وَلَا يُعْرَفُ فِيهِ خِلَافٌ قَدِيمٌ أَصْلًا وَلَا خِلَافٌ حَدِيثٌ، إلَّا أَنَّ بَعْضَ الْمُتَأَخِّرِينَ مِنْ الْمُتَفَقِّهَةِ الحادثين بَعْدَ الْمِائَةِ الثَّالِثَةِ زَعَمَ أَنَّهُ إذَا غُمَّ الْهِلَالُ جَازَ لِلْحَاسِبِ أَنْ يَعْمَلَ فِي حَقِّ نَفْسِهِ بِالْحِسَابِ، فَإِنْ كَانَ الْحِسَابُ دَلَّ عَلَى الرُّؤْيَةِ صَامَ وَإِلَّا فَلَا، وَهَذَا الْقَوْلُ ـ وَإِنْ كَانَ مُقَيَّدًا بِالْإِغْمَامِ وَمُخْتَصًّا بِالْحَاسِبِ ـ فَهُوَ شَاذٌّ مَسْبُوقٌ بِالْإِجْمَاعِ عَلَى خِلَافِهِ، فَأَمَّا اتِّبَاعُ ذَلِكَ فِي الصَّحْوِ أَوْ تَعْلِيقُ عُمُومِ الْحُكْمِ الْعَامِّ بِهِ فَمَا قَالَهُ مُسْلِمٌ

‘Kita semua, secara gamblang sudah mengetahui bersama bahwa dalam Islam, penentuan awal puasa, haji, iddah, batas bulan, atau hal lain yang berkaitan dengan hilal, jika digunakan metode hisab dalam kondisi hilal terlihat maupun tidak, hukumnya adalah haram. Banyak nash dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam yang mendasari hal ini. Para ulama pun telah bersepakat akan hal ini. Tidak ada perselisihan diantara para ulama terdahulu maupun di masa sesudahnya, kecuali sebagian ulama fiqih mutaakhirin setelah tahun 300H yang menganggap bolehnya menggunakan hisab jika hilal tidak nampak, untuk keperluan diri sendiri. Menurut mereka, jika sekiranya perhitungan hisab sesuai dengan ru’yah maka mereka puasa, jika tidak maka tidak. Pendapat ini, jika memang hanya digunakan ketika hilal tidak nampak dan hanya untuk diri sendiri, ini tetaplah merupakan pendapat nyeleneh yang tidak teranggap karena sudah adanya ijma’. Adapun menggunakan perhitungan hisab secara mutlak, padahal cuaca cerah, dan digunakan untuk masyarakat secara umum, tidak ada seorang ulama pun yang berpendapat demikian‘.

والذي جاء به الشرع هو تحديد بداية الشهر برؤية الهلال أو بإتمام شعبان عند عدم رؤيته في الصحو أوعند الغيم, لقوله صلى الله عليه وسلم

Sedangkan yang ada dalilnya dari syari’at, adalah menentukan awal bulan dengan ru’yah hilal atau menggenapkan bulan menjadi 30 hari jika tidak terlihat hilal karena alasan cuaca. Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:

صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ، فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُواعِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ

“Berpuasalah karena melihat hilal dan berlebaranlah karena melihat hilal. Jika kalian terhalang untuk melihat hilal maka genapkanlah sya’ban menjadi 30 hari” (HR. Bukhari)

فإذا كانت الدولة عندكم تبني شهرها على الحساب الفلكي فلا تتابع في هذا, لأن الطاعة إنما تكون في المعروف, ويلزم الناس حينئذ أن يتحروا الهلال بأنفسهم، فإن رأوه صاموا وإن لم يروه في الصحو أو بسبب الغيم أتموا عدة شعبان ثلاثين

Jika pemerintah anda menentukan awal bulan dengan berpegangan pada hisab falaki, maka jangan mentaatinya. Karena taat kepada pemerintah hanyalah pada hal yang ma’ruf. Jika keadaannya demikian, hendaknya kaum muslimin mencoba menyelidiki hilal sendiri, jika mereka melihatnya maka mulailah berpuasa Ramadhan, jika terhalang karena alasan cuaca maka genapkanlah sya’ban menjadi 30 hari.

فإن تعذرعليهم تحري الهلال لمنع الدولة لهم أو نحو ذلك من الأسباب صاموا وأفطروا مع أقرب بلاد الإسلام إليهم ممن يتحرى الهلال, وإذا ثبت أن صيامكم هذه السنة كان ثمانية وعشرين يوما بناء على تحري الهلال فيلزمكم قضاء ما أفطرتموه من الشهر، فإن كان الشهرـ بناء على ما جاء به الشرع ـ ثلاثين يوما لزم الناس قضاء يومين, وإن كان الشهر ناقصا لزمهم قضاء يوم

Jika mereka tidak bisa menyelidiki hilal karena dilarang oleh pemerintah atau karena sebab lain, maka hendaknya kaum muslimin berpuasa mengikuti negara muslim terdekat yang melihat hilal. Andaikan berdasarkan hilal negara tetangga tersebut, ternyata puasa tahun ini hanya 28 hari (dan ini tidak mungkin, pent.) maka konsekuensinya, ada hari-hari yang di qadha. Jika bulan Ramadhan ternyata 30 hari maka kaum muslimin meng-qadha 2 hari. Jika bulan Ramadhan 29 hari maka kaum muslimin meng-qadha 1 hari.

ومن أفطر وصام بناء على الحساب الفلكي تبعا وهو جاهل بالحكم الشرعي فنرجو أن لا إثم عليه ولا يسقط عنه, ومن كان عالما بالحكم الشرعي فهو آثم وتلزمه التوبة إلى الله تعالى

Orang yang tidak puasa atau berpuasa karena berpegang pada hisab falaki dengan alasan ikut-ikutan, sedangkan ia bukan orang yang paham terhadap hukum-hukum syar’i, maka mudah-mudahan tidak ada dosa baginya. Namun bagi orang yang paham terhadap hukum syar’i maka ia berdosa dan ia wajib bertaubat kepada Allah Ta’ala.



وينبغي لأهل العلم أن يقوموا بما أخذه الله عليهم من ميثاق بيان الحق وعدم كتمانه فهم الأسوة والقدوة التي يقتدي بها الناس، ونسأل الله أن ينصر دينه ويعلي كلمته ويهدي ولاة أمورالمسلمين إلى الحق والعمل به، وانظر للأهمية الفتوى رقم: 126768 .

والله أعلم

Sudah semestinya para ulama menegakkan agama sesuai apa yang Allah tugaskan untuk mereka, yaitu menjelaskan kebenaran dan tidak menyembunyikan ilmu. Karena mereka adalah panutan dan teladan yang diikuti manusia. Kami memohon kepada Allah, semoga Allah menolong agama-Nya dan meninggikan agama-Nya serta menunjukkan para penguasa kaum muslimin ke jalan kebenaran dan mengamalkannya. Mengenai pentingnya hal ini silakan lihat fatwa no. 126768. Wallahu’alam.

Sumber: http://www.islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&lang=A&Id=127662

Lihat Ulasan Tuntas Ust Armen halim Naro di Majalah As Sunnah Edisi 07/Tahun VIII/1425H/2004M

Jumat, 26 Agustus 2011

Menyambut Hari Fithri

idul Fithri adalah hari paling berbahagia bagi setiap muslim. Begitulah hari raya. Namun di akhir Ramadhan atau hari Idul Fithri ada dua kewajiban yang mesti diingat, yaitu zakat fithri dan berkenaan dengan shalat ‘ied. Itulah yang akan dibahas singkat pada tulisan sederhana ini.




Zakat Fithri adalah shodaqoh yang wajib ditunaikan oleh setiap muslim pada hari berbuka (tidak berpuasa lagi) dari bulan Ramadhan. Bahkan Ishaq bin Rohuyah menyatakan bahwa wajibnya zakat fithri seperti ada ijma’ (kesepakatan ulama) di dalamnya (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 7/58). Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, ”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithri dengan satu sho’ kurma atau satu sho’ gandum bagi setiap muslim yang merdeka maupun budak, laki-laki maupun perempuan, anak kecil maupun dewasa. Zakat tersebut diperintahkan untuk dikeluarkan sebelum orang-orang keluar untuk melaksanakan shalat ‘ied.” (HR. Bukhari dan Muslim)akat fithri ini wajib ditunaikan oleh: (1) setiap muslim, (2) yang mampu mengeluarkan zakat fithri. Menurut mayoritas ulama, batasan mampu di sini adalah mempunyai kelebihan makanan bagi dirinya dan yang diberi nafkah pada malam dan siang hari ‘ied. Jadi apabila keadaan seseorang seperti ini berarti dia dikatakan mampu dan wajib mengeluarkan zakat fithri. Orang seperti ini yang disebut ghoni (berkecukupan). (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/80-81)

Dari syarat di atas menunjukkan bahwa kepala keluarga wajib membayar zakat fithri orang yang ia tanggung nafkahnya (Mughnil Muhtaj, 1/595). Menurut Imam Malik, ulama Syafi’iyah dan mayoritas ulama, suami bertanggung jawab terhadap zakat fithri si istri karena istri menjadi tanggungan nafkah suami (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 7/59).
Zakat fithri ini wajib ditunaikan oleh: (1) setiap muslim, (2) yang mampu mengeluarkan zakat fithri. Menurut mayoritas ulama, batasan mampu di sini adalah mempunyai kelebihan makanan bagi dirinya dan yang diberi nafkah pada malam dan siang hari ‘ied. Jadi apabila keadaan seseorang seperti ini berarti dia dikatakan mampu dan wajib mengeluarkan zakat fithri. Orang seperti ini yang disebut ghoni (berkecukupan). (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/80-81)

Dari syarat di atas menunjukkan bahwa kepala keluarga wajib membayar zakat fithri orang yang ia tanggung nafkahnya (Mughnil Muhtaj, 1/595). Menurut Imam Malik, ulama Syafi’iyah dan mayoritas ulama, suami bertanggung jawab terhadkaran yang ada di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Para ulama berselisih pendapat bagaimanakah ukuran takaran ini. Lalu mereka berselisih pendapat lagi bagaimanakah ukuran timbangannya. Satu sho’ dari semua jenis ini adalah seukuran empat cakupan penuh telapak tangan yang sedang. Ukuran satu sho’ jika diperkirakan dengan ukuran timbangan adalah sekitar 3 kg. Ulama lainnya mengatakan bahwa satu sho’ kira-kira 2,157 kg. Artinya jika zakat fithri dikeluarkan 2,5 kg seperti kebiasan di negeri kita, sudah dianggap sah. Wallahu a’lam.

Ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa tidak boleh menyalurkan zakat fithri dengan uang yang senilai dengan zakat. Karena tidak ada satu pun dalil yang menyatakan dibolehkannya hal ini. Imam Ahmad ditanya oleh seseorang, “Bolehkah aku menyerahkan beberapa uang dirham untuk zakat fithri?” Jawaban Imam Ahmad, “Aku khawatir seperti itu tidak sah. Mengeluarkan zakat fithri dengan uang berarti menyelisihi perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam”. (Al Mughni, 4/295)

Menyalurkan Zakat Fithri

Penerima zakat fithri hanyalah khusus untuk fakir miskin saja, bukan untuk 8 golongan sebagaimana disebutkan dalam surat At Taubah ayat 60. Jadi penerima zakat fithri berbeda dengan zakat maal. Karena dalam hadits sendiri disebutkan, “Zakat fithri sebagai makanan untuk orang miskin.” (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah, hasan)

Perlu diketahui bahwa waktu pembayaran zakat fithri ada dua macam: (1) waktu afdhol yaitu mulai dari terbit fajar pada hari ‘idul fithri hingga dekat waktu pelaksanaan shalat ‘ied; (2) waktu yang dibolehkan yaitu satu atau dua hari sebelum ‘ied sebagaimana yang pernah dilakukan oleh sahabat Ibnu ‘Umar. Ibnu Qudamah Al Maqdisi rahimahullah mengatakan, “Seandainya zakat fithri jauh-jauh hari sebelum ‘Idul Fithri telah diserahkan, maka tentu saja hal ini tidak mencapai maksud disyari’atkannya zakat fithri yaitu untuk memenuhi kebutuhan si miskin di hari ‘ied. Ingatlah bahwa sebab diwajibkannya zakat fithri adalah hari fithri, hari tidak lagi berpuasa. Sehingga zakat ini pun disebut zakat fithri. … Karena maksud zakat fithri adalah untuk mencukupi si miskin di waktu yang khusus (yaitu hari fithri), maka tidak boleh didahulukan jauh hari sebelum waktunya.” (Al Mughni, 4/301)

Zakat fithri disalurkan di negeri tempat seseorang mendapatkan kewajiban zakat fithri yaitu di saat ia mendapati waktu fithri (tidak berpuasa lagi). Karena wajibnya zakat fithri ini berkaitan dengan sebab wajibnya yaitu bertemu dengan waktu fithri. (Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 23/345)

Di Hari Idul Fithri

Setelah mengetahui kewajiban zakat fithri, satu perintah lagi di hari Idul Fithri yang perlu kita pahami, yaitu shalat ‘ied. Hukum shalat ‘ied sendiri adalah wajib menurut pendapat yang lebih kuat. Alasannya disebutkan oleh Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Al Fatawa, “Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri memerintahkan untuk melakukan shalat ‘ied. Lalu beliau sendiri dan para khulafaur rosyidin (Abu Bakr, ‘Umar, ‘Utsman, dan ‘Ali), begitu pula kaum muslimin setelah mereka terus menerus melakukan shalat ‘ied. Dan tidak dikenal sama sekali kalau di satu negeri Islam ada yang meninggalkan shalat ‘ied. Shalat ‘ied adalah salah satu syi’ar Islam yang tersohor. … Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memberi keringanan bagi wanita untuk meninggalkan shalat ‘ied, lantas bagaimana lagi dengan kaum pria?”

Tuntunan Sebelum Shalat ‘Ied

1. Waktu shalat ‘ied dimulai dari matahari setinggi tombak sampai waktu zawal (matahari bergeser ke barat. Ibnul Qayyim dalam Zaadul Ma’ad mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengakhirkan shalat ‘Idul Fithri dan mempercepat pelaksanaan shalat ‘Idul Adha. Ibnu ‘Umar yang sangat dikenal mencontoh ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah keluar menuju lapangan kecuali hingga matahari meninggi.”

2. Tempat pelaksanaan shalat ‘ied lebih utama (lebih afdhol) dilakukan di tanah lapang, kecuali jika ada udzur seperti hujan. (HR. Bukhari dan Muslim)

3. Disunnahkan untuk mandi sebelum berangkat shalat seperti praktek Ibnu ‘Umar. Lalu berhias diri dan memakai pakaian yang terbaik sebagaimana yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Lihat Zaadul Ma’ad, 1/425)

4. Makan sebelum keluar menuju shalat ‘ied khusus untuk shalat ‘Idul Fithri (HR. Ahmad, hasan).

5. Bertakbir ketika keluar hendak shalat ‘ied (As Silsilah Ash Shahihah no. 171).

6. Melewati jalan pergi dan pulang yang berbeda (HR. Bukhari).

7. Dianjurkan berjalan kaki sampai ke tempat shalat dan tidak memakai kendaraan kecuali jika ada hajat (HR. Ibnu Majah, hasan).

8. Tidak ada shalat sunnah qobliyah dan ba’diyah ‘ied (HR. Bukhari dan Muslim).

9. Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai ke tempat shalat, beliau pun mengerjakan shalat ‘ied tanpa ada adzan dan iqomah. Juga ketika itu untuk menyeru jama’ah tidak ada ucapan “Ash Sholaatul Jaam’iah.” Yang termasuk ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah tidak melakukan hal-hal semacam tadi. (Zaadul Ma’ad)

Tata Cara Shalat ‘Ied

Jumlah raka’at shalat Idul Fithri dan Idul Adha adalah dua raka’at. Adapun tata caranya adalah sebagai berikut.

1. Memulai dengan takbiratul ihrom, sebagaimana shalat-shalat lainnya.

2. Kemudian bertakbir (takbir zawa-id/ tambahan) sebanyak tujuh kali takbir -selain takbiratul ihrom- sebelum memulai membaca Al Fatihah. Boleh mengangkat tangan ketika takbir-takbir tersebut sebagaimana yang dicontohkan oleh Ibnu ‘Umar.

3. Di antara takbir-takbir (takbir zawa-id) yang ada tadi tidak ada bacaan dzikir tertentu. Namun ada sebuah riwayat dari Ibnu Mas’ud, ia mengatakan, “Di antara tiap takbir, hendaklah menyanjung dan memuji Allah.”

4. Kemudian membaca Al Fatihah, dilanjutkan dengan membaca surat lainnya. Surat yang dibaca oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah surat Qaaf pada raka’at pertama dan surat Al Qomar pada raka’at kedua. Boleh juga membaca surat Al A’laa pada raka’at pertama dan surat Al Ghosiyah pada raka’at kedua.

5. Setelah membaca surat, kemudian melakukan gerakan shalat seperti biasa (ruku, i’tidal, sujud, dan seterusnya).

6. Bertakbir ketika bangkit untuk mengerjakan raka’at kedua. Kemudian bertakbir (takbir zawa-id/tambahan) sebanyak lima kali takbir -selain takbir bangkit dari sujud- sebelum memulai membaca Al Fatihah.

7. Kemudian membaca surat Al Fatihah dan surat lainnya sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Mengerjakan gerakan lainnya hingga salam.

8. Setelah melaksanakan shalat ‘ied, imam berdiri untuk melaksanakan khutbah ‘ied dengan sekali khutbah (bukan dua kali seperti khutbah Jum’at). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan khutbah di atas tanah dan tanpa memakai mimbar. Beliau pun memulai khutbah dengan “hamdalah” (ucapan alhamdulillah) sebagaimana khutbah-khutbah beliau yang lainnya (Lihat Zaadul Ma’ad dan Shahih Fiqh Sunnah). Jama’ah boleh memilih mengikuti khutbah ‘ied atau tidak (HR. Abu Daud, Ibnu Majah, shahih).

Taqobalallahu minna wa minkum (Semoga Allah menerima amalan kami dan amalan kalian). Semoga Allah menjadi kita insan yang istiqomah dalam menjalankan ibadah selepas bulan Ramadhan. (*)

Selasa, 23 Agustus 2011

Fiqih Ringkas I’tikaf (1)


Kategori Fiqh dan Muamalah, Ramadhan | 19-08-2011 | 6 Komentar

Definisi I’tikaf
Secara literal (lughatan), kata “الاعْتِكاف” berarti “الاحتباس” (memenjarakan)[1]. Ada juga yang mendefinisikannya dengan:

حَبْسُ النَّفْسِ عَنْ التَّصَرُّفَاتِ الْعَادِيَّةِ

“Menahan diri dari berbagai kegiatan yang rutin dikerjakan” [2].

Dalam terminologi syar’i (syar’an), para ulama berbeda-beda dalam mendefinisikan i’tikaf dikarenakan perbedaan pandangan dalam penentuan syarat dan rukun i’tikaf[3]. Namun, kita bisa memberikan definisi yang umum bahwa i’tikaf adalah:

الْمُكْث فِي الْمَسْجِد لعبادة الله مِنْ شَخْص مَخْصُوص بِصِفَةٍ مَخْصُوصَة

“Berdiam diri di dalam masjid untuk beribadah kepada Allah yang dilakukan oleh orang tertentu dengan tata cara tertentu” [4]. Dalil Pensyari’atan

I’tikaf disyari’atkan berdasarkan dalil dari Al Quran, sunnah, dan ijma’. Berikut dalil-dalil pensyari’atannya.

Dalil dari Al Quran

a. Firman Allah ta’ala,

وَعَهِدْنَا إِلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ أَنْ طَهِّرَا بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْعَاكِفِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ

“Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: “Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang i’tikaf, yang ruku’ dan yang sujud.” (Al Baqarah: 125).

b. Firman Allah ta’ala,

وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ

“(tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam masjid.” (Al Baqarah: 187).

Penyandaran i’tikaf kepada masjid yang khusus digunakan untuk beribadah dan perintah untuk tidak bercampur dengan istri dikarenakan sedang beri’tikaf merupakan indikasi bahwa i’tikaf merupakan

ibadah.[5]



Dalil dari sunnah

a. Hadits dari Ummu al-Mukminin, ‘Aisyah radhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan,

أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ، ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan hingga beliau wafat, kemudian para istri beliau beri’tikaf sepeninggal beliau.”[6]

b. Hadits dari sahabat Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.”[7]

Dalil Ijma’

Beberapa ulama telah menyatakan bahwa kaum muslimin telah berijma’ bahwa i’tikaf merupakan ibadah yang disyari’atkan. Diantara mereka adalah:

a. Ibnul Mundzir rahimahullah dalam kitab beliau Al Ijma’. Beliau mengatakan,

وأجمعوا على أن الاعتكاف لا يجب على الناس فرضا إلا أن يوجبه المرء على نفسه فيجب عليه

“Ulama sepakat bahwa i’tikaf tidaklah berhukum wajib kecuali seorang yang bernadzar untuk beri’tikaf, dengan demikian dia wajib untuk menunaikannya.”[8]

b. An Nawawi rahimahullah mengatakan,

فالاعتكاف سنة بالاجماع ولا يجب إلا بالنذر بالاجماع

“Hukum i’tikaf adalah sunnah berdasarkan ijma dan ulama sepakat bahwa i’tikaf tidak berhukum wajib kecuali seorang yang bernadzar untuk beri’tikaf.”[9]

c. Al Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah mengatakan, “I’tikaf tidaklah wajib berdasarkan ijma’ kecuali bagi seorang yang bernadzar untuk melakukan I’tikaf.”[10]



Hukum I’tikaf

Hukum asal i’tikaf adalah sunnah (mustahab) berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

إِنِّى اعْتَكَفْتُ الْعَشْرَ الأَوَّلَ أَلْتَمِسُ هَذِهِ اللَّيْلَةَ ثُمَّ اعْتَكَفْتُ الْعَشْرَ الأَوْسَطَ ثُمَّ أُتِيتُ فَقِيلَ لِى إِنَّهَا فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ فَمَنْ أَحَبَّ مِنْكُمْ أَنْ يَعْتَكِفَ فَلْيَعْتَكِفْ ». فَاعْتَكَفَ النَّاسُ مَعَهُ

“Sungguh saya beri’tikaf di di sepuluh hari awal Ramadhan untuk mencari malam kemuliaan (lailat al-qadr), kemudian saya beri’tikaf di sepuluh hari pertengahan Ramadhan, kemudian Jibril mendatangiku dan memberitakan bahwa malam kemuliaan terdapat di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Barangsiapa yang ingin beri’tikaf, hendaklah dia beri’tikaf (untuk mencari malam tersebut). Maka para sahabat pun beri’tikaf bersama beliau.”[11]

Dalam hadits di atas, nabi memberikan pilihan kepada para sahabat untuk melaksanakan i’tikaf. Hal ini merupakan indikasi bahwa i’tikaf pada asalnya tidak wajib.

Status sunnah ini dapat menjadi wajib apabila seorang bernadzar untuk beri’tikaf berdasarkan hadits ‘Aisyah, beliau mengatakan bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ نَذَرَ أَنْ يُطِيعَ اللَّهَ فَلْيُطِعْهُ

“Barangsiapa bernadzar untuk melakukan ketaatan kepada Allah, dia wajib menunaikannya.”[12]

‘Umar radhiallahu ‘anhu pernah bertanya kepada nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai rasulullah! Sesungguhnya saya pernah bernadzar untuk beri’tikaf selama satu malam di Masjid al-Haram.” Nabi pun menjawab, “Tunaikanlah nadzarmu itu!”[13]

Al Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani mengatakan, “I’tikaf tidaklah wajib berdasarkan ijma’ kecuali bagi seorang yang bernadzar untuk melakukan I’tikaf.”[14][15]



Pertanyaan: Bagaimanakah hukum i’tikaf bagi wanita?

Jawab:

Dalam permasalahan ini terdapat dua pendapat ulama.

Pendapat pertama adalah pendapat jumhur yang menyatakan itikaf dianjurkan juga bagi wanita sebagaimana dianjurkan bagi pria. Dalil bagi pendapat pertama ini diantaranya adalah:

Keumuman berbagai dalil mengenai pensyari’atan i’tikaf yang turut mencakup pria dan wanita. Asalnya, segala peribadatan yang ditetapkan bagi pria, juga ditetapkan bagi wanita kecuali terdapat dalil yang mengecualikan.
Firman Allah ta’ala,

كُلَّمَا دَخَلَ عَلَيْهَا زَكَرِيَّا الْمِحْرَابَ

“Setiap Zakariya masuk untuk menemui Maryam di mihrab…” (Ali ‘Imran: 37).
dan firman-Nya,

فَاتَّخَذَتْ مِنْ دُونِهِمْ حِجَابًا

“Maka ia mengadakan tabir (yang melindunginya) dari mereka…” (Maryam: 17).
Ayat ini memberitakan bahwa Maryam telah membaktikan dirinya untuk beribadah dan berkhidmat kepada-Nya. Dia mengadakan tabir dan menempatkan dirinya di dalam mihrab untuk menjauhi manusia. Hal ini menunjukkan bahwa beliau beri’tikaf. Meskipun perbuatan Maryam itu merupakan syari’at umat terdahulu, namun hal itu juga termasuk syari’at kita selama tidak terdapat dalil yang menyatakan syari’at tersebut telah dihapus.
Hadits Ummul Mukminin, ‘Aisyah dan Hafshah radhiallahu ‘anhuma, yang keduanya memperoleh izin untuk beri’tikaf sedang mereka berdua masih dalam keadaan belia saat itu.[16]

Pendapat kedua menyatakan bahwa i’tikaf dimakruhkan bagi pemudi. Dalil yang menjadi patokan bagi pendapat ini diantaranya adalah sebagai berikut:

Hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anhu yang menerangkan bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk melepas kemah-kemah istrinya ketika mereka hendak beri’tikaf bersama beliau[17]
Hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan,

لَوْ أَدْرَكَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – مَا أَحْدَثَ النِّسَاءُ لَمَنَعَهُنَّ كَمَا مُنِعَتْ نِسَاءُ بَنِى إِسْرَائِيلَ

“Seandainya rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahui apa kondisi wanita saat ini tentu beliau akan melarang mereka (untuk keluar menuju masjid) sebagaimana Allah telah melarang wanita Bani Israil.”[18]

Pendapat yang kuat adalah pendapat jumhur yang menyatakan bahwa i’tikaf juga disunnahkan bagi wanita berdasarkan beberapa alasan berikut:

Berbagai dalil menyatakan bahwasanya wanita juga turut beri’tikaf dan tidak terdapat dalil tegas yang menerangan bahwa pemudi dimakruhkan untuk beri’tikaf.
Hadits ‘Aisyah yang menyatakan bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk melepas kemah para istri beliau ketika mereka beri’tikaf bukanlah menunjukkan ketidaksukaan beliau apabila para pemudi turut beri’tikaf. Namun, motif beliau memerintahkan hal tersebut adalah kekhawatiran jika para istri beliau saling cemburu dan berebut untuk melayani beliau shallallahu ‘alaihi wasallam. Oleh karena itu, dalam hadits tersebut beliau mengatakan, “Apakah kebaikan yang dikehendaki oleh mereka dengan melakukan tindakan ini?”. Akhirnya beliau pun baru beri’tikaf di bulan Syawwal.
Hadits ‘Aisyah ini justru menerangkan bolehnya pemudi untuk beri’tikaf, karena ‘Aisyah dan Hafshah di dalam hadits ini diizinkan nabi untuk beri’tikaf dan pada saat itu keduanya berusia belia.
Adapun perkataan ‘Aisyah yang menyatakan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan melarang wanita untuk keluar ke masjid apabila mengetahui kondisi wanita saat ini, secara substansial, bukanlah menunjukkan bahwa i’tikaf tidak disyari’atkan bagi pemudi. Namun, perkataan beliau tersebut menunjukkan akan larangan bagi wanita untuk keluar ke masjid apabila dikhawatirkan terjadi fitnah.

Hikmah I’tikaf

Seluruh peribadatan yang disyari’atkan dalam Islam pasti memiliki hikmah, baik itu diketahui oleh hamba maupun tidak. Tidak terkecuali ibadah i’tikaf ini, tentu mengandung hikmah. Hikmah yang terkandung di dalamnya berusaha diuraikan oleh imam Ibn al-Qayyim rahimahullah dalam kitab beliau Zaadul Ma’ad[19]. Beliau mengatakan, “Kebaikan dan konsistensi hati dalam berjalan menuju Allah tergantung kepada terkumpulnya kekuatan hati kepada Allah dan menyalurkannya dengan menghadapkan hati secara total kepada-Nya, -karena hati yang keruh tidak akan baik kecuali dengan menghadapkan hati kepada Allah ta’ala secara menyeluruh-, sedangkan makan dan minum secara berlebihan, terlalu sering bergaul, banyak bicara dan tidur, merupakan faktor-faktor yang mampu memperkeruh hati, dan semua hal itu bisa memutus perjalanan hati menuju kepada-Nya, atau melemahkan, menghalangi, dan menghentikannya.

(Dengan demikian), rahmat Allah yang Maha Perkasa dan Maha Penyayang menuntut pensyari’atan puasa bagi mereka, yang mampu menyebabkan hilangnya makan dan minum yang berlebih.

(Begitupula) hati yang keruh tidak dapat disatukan kecuali dengan menghadap kepada Allah, padahal (kegiatan manusia banyak yang memperkeruh hati seperti) makan dan minum secara berlebih, terlalu sering bergaul dengan manusia, serta banyak bicara dan tidur. (Semua hal itu) memporakporandakan hati, memutus, atau melemahkan, atau mengganggu dan menghentikan hati dari berjalan kepada Allah. Maka rahmat Allah kepada hamba-Nya menuntut pensyari’atan puasa untuk mereka yang mampu mengikis makan dan minum yang berlebih serta mengosongkan hati dari campuran syahwat yang menghalangi jalan kepada Allah. Allah mensyariatkannya sesuai dengan kadar kemaslahatan yang dapat bermanfaat bagi hamba di dunia dan akhirat. Namun, tidak merugikan dan memutus kemaslahatan dunia dan akhiratnya.

Demikian pula, Allah mensyariatkan i’tikaf bagi mereka yang bertujuan agar hati dan kekuatannya fokus untuk beribadah kepada-Nya, berkhalwat dengan-Nya, memutus diri dari kesibukan dengan makhluk dan hanya sibuk menghadap kepada-Nya. Sehingga, berdzikir, kecintaan, dan menghadap kepada-Nya menjadi ganti semua faktor yang mampu memperkeruh hati. Begitupula, kesedihan dan kekeruhan hati justru akan akan terhapus dengan mengingat-Nya dan berfikir bagaimana cara untuk meraih ridha-Nya dan bagaimana melakukan amalan yang mampu mendekatkan diri kepada-Nya. Berkhalwat dengan-Nya menjadi ganti dari kelembutannya terhadap makhluk, yang menyebabkan dia berbuat demikian adalah karena (mengharapkan) kelembutan-Nya pada hari yang mengerikan di alam kubur, tatkala tidak ada lagi yang mampu berbuat lembut kepadanya dan tidak ada lagi yang mampu menolong (dirinya) selain Allah. Inilah maksud dari i’tikaf yang agung itu.“

Waktu I’tikaf

Jumhur (mayoritas ulama) berpendapat i’tikaf dianjurkan setiap saat untuk dilakukan dan tidak terbatas pada bulan Ramadhan atau di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. [20] Berikut beberapa dalil yang menunjukkan hal tersebut:

a. Terdapat riwayat yang shahih dari Ummu al-Mukminin, yang menyatakan bahwasanya nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf di sepuluh hari pertama bulan Syawwal dan dalam satu riwayat beliau melaksanakannya di sepuluh hari terakhir bulan Syawwal.[21]

b. Hadits Ibnu ‘Umar yang menceritakan bahwa ‘Umar radhiallahu ‘anhu, bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

كُنْتُ نَذَرْتُ فِى الْجَاهِلِيَّةِ أَنْ أَعْتَكِفَ لَيْلَةً فِى الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ

“Pada masa jahiliyah, saya pernah bernadzar untuk beri’tikaf semalam di Masjid al-Haram.” Maka nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun memerintahkannya untuk menunaikan nadzar tersebut.[22]

c. Hadits Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan,

إِذَا كَانَ مُقِيماً اعْتَكَفَ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ وَإِذَا سَافَرَ اعْتَكَفَ مِنَ الْعَامِ الْمُقْبِلِ عِشْرِينَ.

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan ketika dalam kondisi mukim. Apabila beliau bersafar, maka beliau beri’tikaf pada tahun berikutnya selama dua puluh hari.”[23]

Begitupula hadits Ubay bin Ka’ab radhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يَعْتَكِفُ فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ فَسَافَرَ سَنَةً فَلَمْ يَعْتَكِفْ فَلَمَّا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ اعْتَكَفَ عِشْرِينَ يَوْماً

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan. Kemudian beliau pernah bersafar selama setahun dan tidak beri’tikaf, akhirnya beliau pun beri’tikaf pada tahun berikutnya selama dua puluh hari.”[24]

Sisi argumen dari hadits di atas adalah nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf selama dua puluh hari. Hal ini menunjukkan pensyari’atan beri’tikaf pada selain sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Tindakan beliau ini bukanlah qadha, karena kalau terhitung sebagai qadha tentu nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan bersegera menunaikannya sebagaimana kebiasaan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

d. Adanya berbagai riwayat dari nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat radhiallahu ‘anhu yang menyatakan puasa sebagai syarat i’tikaf dan sebaliknya terdapat riwayat yang menyatakan puasa bukanlah syarat i’tikaf. Hal ini mengisyaratkan bahwa i’tikaf disyari’atkan di setiap waktu, tidak hanya di bulan Ramadhan atau pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Karena jika I’tikaf tidak boleh dilaksanakan kecuali pada bulan Ramadhan atau sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, maka adanya perbedaan pendapat dalam penentuan puasa sebagai syarat atau tidak tidak akan mencuat.

Tujuan i’tikaf adalah mengumpulkan hati kepada Allah ta’ala, menghadap kepada-Nya, dan berpaling dari selain-Nya dan hal ini tentunya dapat terealisasi di segala waktu. Namun, pada waktu-waktu tertentu, seperti di bulan Ramadhan terutama pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, ibadah I’tikaf lebih ditekankan untuk dilakukan.



-bersambung insya Allah-

Kamis, 16 Juni 2011

BERZIKIR KEPADA ALLAH

Suatu ketika Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidur di atas selembar tikar. Ketika bangkit dari tidurnya tikar tersebut
meninggalkan bekas pada tubuh beliau. Berkatalah para shahabat yang menyaksikan hal itu, “Wahai Rasulullah, seandainya boleh kami siapkan untukmu kasur yang empuk!”

Beliau menjawab:

مَا لِي وَمَا لِلدُّنْيَا، مَا أَنَا فِي الدُّنْيَا إِلاَّ كَرَاكِبٍ اسْتَظَلَّ تَحْتَ شَجَرَةٍ ثُمَّ رَاحَ وَتَرَكَهَا

“Ada kecintaan apa aku dengan dunia? Aku di dunia ini tidak lain kecuali seperti seorang pengendara yang mencari teteduhan di bawah pohon, lalu beristirahat, kemudian meninggalkannya.” (HR. At-Tirmidzi no. 2377, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih At-Tirmidzi)

Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu pernah menangis melihat kesahajaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai beliau hanya tidur di atas selembar tikar tanpa dialasi apapun. Umar radhiyallahu ‘anhu berkata:

فَرَأَيْتُ أَثَرَ الْحَصِيْرِ فِي جَنْبِهِ فَبَكَيْتُ. فَقَالَ: مَا يُبْكِيْكَ؟ فَقُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِنَّ كِسْرَى وَقَيْصَرَ فِيْمَا هُمَا فِيْهِ وَأَنْتَ رَسُوْلُ اللهِ. فَقَالَ: أَمَا تَرْضَى أَنْ تَكُوْنَ لَهُمُ الدُّنْيَا وَلَنَا اْلآخِرَةُ؟
Aku melihat bekas tikar di lambung/rusuk beliau, maka aku pun menangis, hingga mengundang tanya beliau, “Apa yang membuatmu menangis?” Aku menjawab, “Wahai Rasulullah, sungguh Kisra (raja Persia, –pent.) dan Kaisar (raja Romawi –pent.) berada dalam kemegahannya, sementara engkau adalah utusan Allah.” Beliau menjawab, “Tidakkah engkau ridha mereka mendapatkan dunia sedangkan kita mendapatkan akhirat?” (HR. Al-Bukhari no. 4913 dan Muslim no. 3676)

Dalam kesempatan yang sama, Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkata kepada Nabinya:

ادْعُ اللهَ فَلْيُوَسِّعْ عَلَى أُمَّتِكَ فَإِنَّ فَارِسَ وَالرُّوْمَ وُسِّعَ عَلَيْهِمْ وَأُعْطُوا الدُّنْيَا وَهُمْ لاَ يَعْبُدُوْنَ اللهَ. وَكَانَ مُتَّكِئًا فَقَالَ: أَوَفِي شَكٍّ أَنْتَ يَا ابْنَ الْخَطَّابِ، أُولَئِكَ قَوْمٌ عُجِّلَتْ لَهُمْ طَيِّبَاتُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا

“Mohon engkau wahai Rasulullah berdoa kepada Allah agar Allah memberikan kelapangan hidup bagi umatmu. Sungguh Allah telah melapangkan (memberi kemegahan) kepada Persia dan Romawi, padahal mereka tidak beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.” Rasulullah meluruskan duduknya, kemudian berkata, “Apakah engkau dalam keraguan, wahai putra Al-Khaththab? Mereka itu adalah orang-orang yang disegerakan kesenangan (kenikmatan hidup/rezeki yang baik-baik) mereka di dalam kehidupan dunia?” (HR. Al-Bukhari no. 5191 dan Muslim no. 3679)

Demikianlah nilai dunia, wahai saudariku. Dan tergambar bagimu bagaimana orang-orang yang bertakwa lagi cendikia itu mengarungi dunia mereka. Mereka enggan untuk tenggelam di dalamnya, karena dunia hanyalah tempat penyeberangan… Di ujung sana menanti negeri keabadian yang keutamaannya tiada terbandingi dengan dunia.

Al-Mustaurid bin Syaddad radhiyallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَا الدُّنْيَا فِي اْلآخِرَةِ إِلاَّ مِثْلُ مَا يَجْعَلُ أَحَدُكُمْ إِصْبَعَهُ فِي الْيَمِّ فَلْيَنْظُرْ بِمَ تَرْجِعُ

“Tidaklah dunia bila dibandingkan dengan akhirat kecuali hanya semisal salah seorang dari kalian memasukkan sebuah jarinya ke dalam lautan. Maka hendaklah ia melihat apa yang dibawa oleh jari tersebut ketika diangkat?” (HR. Muslim no. 7126)

Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu menerangkan,
“Makna hadits di atas adalah pendeknya masa dunia dan fananya kelezatannya bila dibandingkan dengan kelanggengan akhirat berikut kelezatan dan kenikmatannya, tidak lain kecuali seperti air yang menempel di jari bila dibandingkan dengan air yang masih tersisa di lautan.” (Al-Minhaj, 17/190)

Lihatlah demikian kecilnya perbendaharaan dunia bila dibandingkan dengan akhirat. Maka siapa lagi yang tertipu oleh dunia selain orang yang pandir, karena dunia takkan dapat menipu orang yang cerdas dan berakal. (Bahjatun Nazhirin, 1/531)

Wallahu Ta’ala A’lam bish-shawab.

Jumat, 03 Juni 2011

Ibnul Qayyim dalam kitab beliau Madarijus Salikin (2/156) berkata: “Sabar ada tiga macam yaitu sabar dalam ketaatan kepada Allah, sabar dalam menahan diri dari bermaksiat kepada Allah dan sabar dalam menghadapi ujian.”

Al Imam Al Qurthubi dalam tafsir beliau menukilkan ucapan Sahl bin Abdillah At Tasturi: “Sabar ada dua macam yaitu sabar dari bermaksiat kepada Allah maka ini adalah seorang mujahid; dan sabar dalam ketaatan kepada Allah ini yang dinamakan ahli ibadah.”

Ibnul Qayyim di dalam kitab beliau Madarijus Salikin (2/155) mengatakan: “Sabar dalam keimanan bagaikan kepala pada jasad; dan tidak ada keimanan tanpa sabar sebagaimana jasad tidak akan berfungsi tanpa kepala.”
mar bin Al Khaththab berkata: “Kami menjumpai kebaikan hidup ada bersama Aldebaran.”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Kepemimpinan dalam agama akan didapati dengan yakin dan sabar.” Allah berfirman:
“Dan Kami menjadikan dari mereka sebagai pemimpin yang berjalan di atas perintah Kami ketika mereka bersabar dan mereka yakin kepada ayat-ayat Kami.” (As Sajdah: 24)

Rasulullah bersabda: “Tidak ada satupun pemberian kepada seseorang yang lebih baik daripada sabar.” ( HR. Muslim).
“Sabar adalah cahaya.” ( HR. Muslim).

Allah berfirman:
“Dan Kami benar-benar akan membalas mereka yang bersabar dengan balasan yang lebih baik daripada apa yang mereka telah lakukan.” (An Nahl: 96)

Wallahu A’lam.

Senin, 25 April 2011

AQIQAH DAN HUKUMNYA

A. PENGERTIAN AQIQAH
Imam Ibnul Qayyim rahimahulloh dalam kitab “Tuhfatul Maudud" hal.25-26, mengatakan bahwa : Imam Jauhari berkata : Aqiqah ialah Menyembelih hewan pada hari ketujuh dan mencukur rambutnya. Selanjut Ibnu Qayyim rahimahulloh berkata :
“Dari penjelasan ini jelaslah bahwa aqiqah itu disebut demikian krn mengandung dua unsur diatas dan ini lebih utama.
Imam Ahmad rahimahulloh dan jumhur ulama berpendpt bahwa apabila ditinjau dari segi syar'i maka yg dimaksud dgn aqiqah ialah makna berkurban atau menyembelih (An-Nasikah).
B. DALIL-DALIL SYAR’I TENTANG AQIQAH

Hadist No.1 :
Dari Salman bin 'Amir Ad-Dhabiy, dia berkata : Rasululloh bersabda : Aqiqah dilaksanakan krn kelahiran bayi, maka sembelihlah hewan dan hilangkanlah semua gangguan darinya.[Shahih Hadits Riwayat Bukhari (5472), untuk lebih lengkap lihat Fathul Bari (9/590-592), dan Irwaul Ghalil (1171), Syaikh Albani]
Makna menghilangkan gangguan ialah mencukur rambut bayi atau menghilangkan semua gangguan yg ada [Fathul Bari (9/593) dan Nailul Authar (5/35), Cetakan Darul Kutub Al-Ilmiyah, pent]

Hadist No.2 :
Dari Samurah bin Jundab dia berkata : Rasulullah bersabda : Semua anak bayi tergadaikan dgn aqiqah yg pada hari ketujuh disembelih hewan (kambing), diberi nama dan dicukur rambutnya. [Shahih, Hadits Riwayat Abu Dawud 2838, Tirmidzi 1552, Nasa'I 7/166, Ibnu Majah 3165, Ahmad 5/7-8, 17-18, 22, Ad Darimi 2/81, dan lain-lainnya]

Hadist No.3 :
Dari Aisyah dia berkata : Rasulullah bersabda : Bayi laki-laki diaqiqahi dgn dua kambing yg sama dan bayi perempuan satu kambing. [Shahih, Hadits Riwayat Ahmad (2/31, 158, 251), Tirmidzi (1513), Ibnu Majah (3163), dgn sanad hasan]

Hadist No.4 :
Dari Ibnu Abbas bahwasan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam mengaqiqahi Hasan dgn satu kambing & Husain satu kambing.[HR Abu Dawud (2841) Ibnu Jarud dalam kitab al-Muntaqa (912) Thabrani (11/316) dgn sanad shahih sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Daqiqiel ]

Hadist No.5 :
Dari 'Amr bin Syu'aib dari ayahnya, dari kakeknya, Rasulullah bersabda : “Barangsiapa diantara kalian yg ingin menyembelih (kambing) krn kelahiran bayi maka hendaklah ia lakukan untuk laki-laki dua kambing yg sama dan untuk perempuan satu kambing. [Sanad Hasan, Hadits Riwayat Abu Dawud (2843), Nasa'I (7/162-163), Ahmad (2286, 3176) dan Abdur Razaq (4/330), dan shahihkan oleh al-Hakim (4/238)]

Hadist No.6 :
Dari Fatimah binti Muhammad ketika melahirkan Hasan, dia berkata : Rasulullah bersabda :“Cukurlah rambut dan bersedekahlah dgn perak kpd orang miskin seberat timbangan rambutnya.[Sanad Hasan, Hadits iwayat Ahmad (6/390), Thabrani dalam Mu'jamul Kabir 1/121/2, dan al-Baihaqi (9/304) dari Syuraiq dari Abdillah bin Muhammad bin Uqoil]
Dari dalil-dalil yg diterangkan di atas maka dpt diambil hukum-hukum mengenai seputar aqiqah dan hal ini dicontohkan oleh Rasulullah para sahabat serta para ulama salafus sholih.
C. HUKUM-HUKUM SEPUTAR AQIQAH
HUKUM AQIQAH SUNNAH
Al-Allamah Imam Asy-Syaukhani rahimahulloh berkata dalam Nailul Authar (6/213) :“Jumhur ulama berdalil atas sunnah aqiqah berdasarkan hadist no.5
BANTAHAN TERHADAP ORANG YANG MENGINGKARI DAN MEMBID’AHKAN AQIQAH
Ibnul Mundzir rahimahulloh membantah mereka dgn mengatakan bahwa : “Orang-orang 'Aqlaniyyun (orang-orang yg mengukur kebenaran dgn akalnya, saat ini seperti sekelompok orang yg menamakan sebagai kaum Islam Liberal, pen) mengingkari sunnah aqiqah, pendpt mereka ini jelas menyimpang jauh dari hadist-hadist yg tsabit (shahih) dari Rasulullah krn berdalih dgn hujjah yg lebih lemah dari sarang laba-laba.[Sebagaimana dinukil oleh Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam kitab “Tuhfatul Maudud hal.20, dan Ibnu Hajar al-Asqalani dalam “Fathul Bari (9/588)].
WAKTU AQIQAH PADA HARI KETUJUH
Berdasarkan hadist no.2 dari Samurah bin Jundab. Para ulama berpendpt dan sepakat bahwa waktu aqiqah yg paling utama ialah hari ketujuh dari hari kelahirannya. Namun mereka berselisih pendpt tentang boleh melaksanakan aqiqah sebelum hari ketujuh atau sesudahnya. Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahulloh berkata dalam kitab“Fathul Baari (9/594) :
“Sabda Rasulullah pada perkataan pada hari ketujuh kelahirannya (hadist no.2), ini sebagai dalil bagi orang yg berpendpt bahwa waktu aqiqah itu ada pada hari ketujuh dan orang yg melaksanakan sebelum hari ketujuh berarti tdk melaksanakan aqiqah tepat pada waktunya. bahwasannya syariat aqiqah akan gugur setelah lewat hari ketujuh. Dan ini merupakan pendapat Imam Malik. Beliau berkata : “Kalau bayi itu meninggal sebelum hari ketujuh maka gugurlah sunnah aqiqah bagi kedua orang tuanya.
Sebagian membolehkan melaksanakan sebelum hari ketujuh. Pendpt ini dinukil dari Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam kitab “Tuhfatul Maudud hal.35. Sebagian lagi berpendpt boleh dilaksanakan setelah hari ketujuh. Pendpt ini dinukil dari Ibnu Hazm dalam kitab “al-Muhalla 7/527.
Sebagian ulama lain membatasi waktu pada hari ketujuh dari hari kelahirannya. Jika tdk bisa melaksanakan pada hari ketujuh maka boleh pada hari ke-14, jika tdk bisa boleh dikerjakan pada hari ke-21. Berdalil dari riwayat Thabrani dalm kitab “As-Shagir "(1/256) dari Ismail bin Muslim dari Qatadah dari Abdullah bin Buraidah :
“Kurban untuk pelaksanaan aqiqah, dilaksanakan pada hari ketujuh atau hari ke-14 atau hari ke-21. [Penulis berkata : “Dia (Ismail) seorang rawi yg lemah krn jelek hafalannya, seperti dikatakan oleh al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (9/594). Dan dijelaskan pula tentang kedhaifan bahkan hadist ini mungkar dan mudraj]
BERSEDEKAH DENGAN DENGAN PERAK SEBERAT TIMBANGAN RAMBUT
Syaikh Ibrahim bin Muhammad bin Salim bin Dhoyyan berkata : “Dan disunnahkan mencukur rambut bayi, bersedekah dgn perak seberat timbangan rambut dan diberi nama pada hari ketujuhnya. Masih ada ulama yg menerangkan tentang sunnah amalan tersebut (bersedekah dgn perak), seperti : al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani, Imam Ahmad, dan lain-lain.
Adapun hadist tentang perintah untuk bersedekah dgn emas, ini ialah hadit dhoif.
TIDAK ADA TUNTUNAN BAGI ORANG DEWASA UNTUK AQIQAH ATAS NAMA DIRINYA SENDIRI
Sebagian ulama mengatakan : “Seseorang yg tdk diaqiqahi pada masa kecil maka boleh melakukan sendiri ketika sudah dewasa”. Mungkin mereka berpegang dgn hadist Anas yg berbunyi : “Rasulullah mengaqiqahi diri sendiri setelah beliau diangkat sebagai nabi.[Dhaif mungkar, Hadits Riwayat Abdur Razaq (4/326) dan Abu Syaikh dari jalan Qatadah dari Anas]
Sebenar mereka tdk pu hujjah sama sekali krn hadist dhaif dan mungkar. Telah dijelaskan pula bahwa nasikah atau aqiqah ha pada satu waktu (tdk ada waktu lain) yaitu pada hari ketujuh dari hari kelahirannya. Tidak diragukan lagi bahwa ketentuan waktu aqiqah ini mencakup orang dewasa maupun anak kecil.
AQIQAH UNTUK ANAK LAKI-LAKI DUA KAMBING DAN PEREMPUAN SATU KAMBING
Berdasarkan hadist no.3 dan no.5 dari Aisyah dan Amr bin Syu'aib. “Setelah menyebutkan dua hadist diatas, al-Hafidz Ibnu Hajar berkata dalam“Fathul Bari. (9/592) : “Semua hadist yg semakna dgn ini menjadi hujjah bagi jumhur ulama dalam membedakan antara bayi laki-laki dan bayi perempuan dalam masalah aqiqah. Imam Ash-Shan'ani rahimahulloh dalam kitab Subulus Salam (4/1427) mengomentari hadist Aisyah tersebut diatas dgn perkataan : “Hadist ini menunjukkan bahwa jumlah kambing yg disembelih untuk bayi perempuan ialah setengah dari bayi laki-laki.Al-'Allamah Shiddiq Hasan Khan rahimahulloh dalam kitab “Raudhatun Nadiyyah (2/26) berkata : “Telah menjadi ijma' ulama bahwa aqiqah untuk bayi perempuan ialah satu kambing.
Penulis berkata : “Ketetapan ini (bayi laki-laki dua kambing dan perempuan satu kambing) tdk diragukan lagi kebenarannya.
BOLEH AQIQAH BAYI LAKI-LAKI DENGAN SATU KAMBING
Berdasarkan hadist no. 4 dari Ibnu Abbas. Sebagian ulama berpendpt boleh mengaqiqahi bayi laki-laki dgn satu kambing yg dinukil dari perkataan Abdullah bin 'Umar, 'Urwah bin Zubair, Imam Malik dan lain-lain mereka semua berdalil dgn hadist Ibnu Abbas diatas.
Tetapi al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahulloh berkata dalam kitab “Fathul Bari (9/592) : ..meskipun hadist riwayat Ibnu Abbas itu tsabit (shahih), tdklah menafikan hadist mutawatir yg menentukan dua kambing untuk bayi laki-laki. Maksud hadits itu hanyalah untuk menunjukkan boleh mengaqiqahi bayi laki-laki dgn satu kambing. Sunnah ini ha berlaku untuk orang yg tdk mampu melaksanakan aqiqah dgn dua kambing. Jika dia mampu maka sunnah yg shahih ialah laki-laki dgn dua kambing.
[Disalin dan diringkas kembali dari kitab “Ahkamul Aqiqah" karya Abu Muhammad Ishom bin Mar'i, terbitan Maktabah as-Shahabah, Jeddah, Saudi Arabia]

Senin, 04 April 2011

MENIRU SIFAT TIDUR NABI

Tidur adalah Suatu Tanda kekuasaan Allah Ta’la. Tidak ada manusia yang tidak tidur. Selain tu teman-teman tidur pasti dirasakan oleh seluruh manusia. Yang Sobat perlu ketahui adalah bahwasanya Allah SWT menjadikan tidur sebagai tanda kekuasaanya. Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “ Tidur mempunyai dua manfaat besar, tapi apakah itu?. Yang pertama untuk mengistirahatkan anggota badan ari kelelahan yang dirasa hingga rasa capek itu hilang. Yang kedua untuk membantu proses pencernaan makanan. Karena suhu panas yang muncul ketika tidur akan meresap ke perut dan membantu proses pencernaan terhadap makanan. Dalam kesempatan kali ini penulis pingin menelaah sifat-sifat tidur Nabi SAW, langsung saja beberapa adab dan sifat tidur Nabi SAW ;

1. Jadikan tidur sebagai ibadah
Hal itu dengan menghadirkan niat yang shaleh bahwa tidur kita untuk mengistirahatkan badan dan memulihkan kekuatan agar dapat kembali beribadah kepada Allah SWT. Jika niat ini telah dihadirkan di Hati antum, maka-insyaAllah- tidur kita akan berbuah pahala.


2. Tidur ba’da Shubuh?
Sering kita jumpai sebagian saudara seiman kita membiasakan tidur setelah Shubuh. Kebiasaan seperti ini harus ditinjau kembali, sebab kawan-kawan tidur ba’da Shubuh membawa kerugian yang sangat banyak.
3. Berwudhu
Berdasarkan hadist dari bara’ bin ‘Azib r.a bahwasanya Rasululloh Bersabda ;
“ Apabila kalian hendak mendatangi tempat tidur, maka berwudhulah seperti wudhu’ kalian untuk shalat”. (HR.Bukhari)

4. Membaca do’a sebelum Tidur
Banyak sekali do’a sebelum tidur yang telah diajarkan Nabi SAW, di antaranya ;
` “bissmika amuutu wa ahyaa”
“ Yaa Allah, dengan menyebut Nama-Mu aku mati dan hidup.” (HR.Bukhari, Abu Dawud)
5. Tidur dengan berbaring ke sisi kanan
Dalam hal ini sob, Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah berkata : “ Adalah Nabi SAW tidur dengan berbaring ke sisi kanan dan beliau meletakkan tanganya yang kanan di bawah pipinya yang kanan.” Zaadul Ma’aad

6. Menjaga aurat ketika Tidur
Nah ketika tidur hal yang wajib adalah usahakanlah untuk menutup aurat rapat-rapat agar tidak terlihat, hal ini sangat di tekan kan apabila kita tidur di tempat yang umum. Imam Ahmad bin hamba rahimahullah mengatakan, “ Makan dan tidur menurut kami adalah dua aurat yang harus dijaga.
7. Doa ketika Bangun Tidur
Sob Ketika bangun dari tidur hendaklah kita berdo’a:
“Allhamdulillahhilladzii ahyaanaa ba’damaa amaa tanaa wa ilaihinnusyuur”
“Segala puji bagi Allah yang telah menghidupkan kami setelah sebelumnya mematikan kami dan hanya kepada-Nya akan dibangkitkan.” (HR. Bukhari)


Subhanallah sedikit tentang sifat tidur Nabi sudah sangat memberikan Manfaat, Islam sudah mengatur dari mulai bangun tidur hingga esok Bangun tidur di kemudian hari. Inilah yang dapat kami sampaikan dari banyaknya sifat-sifat tidur Nabi SAW. Semoga risalah yang singkat ini dapat bermanfaat bagi kaum muslim khususnya para sobat seiman yang selalu mendambakan untuk mencontoh peri kehidupan Nabi SAW dalam segala perkara. #mwa

Jumat, 18 Maret 2011

Waktu Akhir Shalat Isya’

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Sebagian kalangan berpendapat bahwa akhir shalat Isya’ sampai waktu shubuh. Namun perlu diketahui secara seksama bahwa sebenarnya dalam masalah akhir waktu shalat Isya’ terdapat perselisihan di antara ulama. Tentu saja untuk menguatkan pendapat yang ada kita harus melihat dari berbagai dalil, lantas merojihkannya (mencari manakah pendapat yang terkuat). Ini berarti kita pun nantinya tidak hanya sekedar ikut-ikutan apa kata orang. Berikut pembahasan singkat dari kami tentang akhir waktu shalat Isya’.

Perselisihan Ulama

Pendapat pertama: Waktu akhir shalat Isya’ adalah ketika terbit fajar shodiq (masuknya shalat shubuh) tanpa ada perselisihan antara Imam Abu Hanifah dan pengikut ulama dari ulama Hanafiyah. Pendapat ini juga jadi pegangan ulama Syafi’iyah, namun kurang masyhur di kalangan ulama Malikiyah.

Pendapat kedua: Waktu akhir shalat Isya’ adalah sepertiga malam. Inilah pendapat yang masyhur dari kalangan ulama Malikiyah.

Pendapat ketiga: Waktu akhir shalat Isya’ adalah sepertiga malam, ini waktu ikhtiyari (waktu pilihan). Sedangkan waktu akhir shalat Isya’ yang bersifat darurat adalah hingga terbit fajar. Waktu darurat ini misalnya ketika seseorang sakit lantas sembuh ketika waktu darurat, maka ia masih boleh mengerjakan shalat Isya’ di waktu itu. Begitu pula halnya wanita haidh, wanita nifas ketika mereka suci di waktu tersebut. Inilah pendapat ulama Hanabilah.[1]Pendapat keempat: Waktu akhir shalat Isya’ adalah pertengahan malam. Yang berpendapat demikian adalah Ats Tsauri, Ibnul Mubarok, Ishaq, Abu Tsaur, Ash-habur ro’yi dan Imam Asy Syafi’i dalam pendapatnya yang terdahulu.[2]

(*) Waktu malam dihitung dari shalat Maghrib hingga waktu Shubuh. Sehingga pertengahan malam, jika Maghrib misalnya jam 6 sore dan Shubuh jam 4 pagi, kira-kira jam 11 malam.

Dalil yang Menjadi Pegangan

Dalil yang menjadi pegangan bahwa waktu akhir shalat Isya’ itu sampai terbit fajar shodiq (masuk waktu shubuh) adalah hadits Abu Qotadah,

أَمَا إِنَّهُ لَيْسَ فِى النَّوْمِ تَفْرِيطٌ إِنَّمَا التَّفْرِيطُ عَلَى مَنْ لَمْ يُصَلِّ الصَّلاَةَ حَتَّى يَجِىءَ وَقْتُ الصَّلاَةِ الأُخْرَى

“Orang yang ketiduran tidaklah dikatakan tafrith (meremehkan). Sesungguhnya yang dinamakan meremehkan adalah orang yang tidak mengerjakan shalat sampai datang waktu shalat berikutnya.” (HR. Muslim no. 681)

Dalil lainnya lagi adalah hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,

أَعْتَمَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- ذَاتَ لَيْلَةٍ حَتَّى ذَهَبَ عَامَّةُ اللَّيْلِ وَحَتَّى نَامَ أَهْلُ الْمَسْجِدِ ثُمَّ خَرَجَ فَصَلَّى فَقَالَ « إِنَّهُ لَوَقْتُهَا لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِى »

“Suatu malam Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendirikan shalat ‘atamah (isya`) sampai berlalu malam dan penghuni masjid pun ketiduran, setelah itu beliau datang dan shalat. Beliau bersabda, ‘Sungguh ini adalah waktu shalat isya’ yang tepat, sekiranya aku tidak memberatkan umatku’.” (HR. Muslim no. 638)

Hadits di atas menunjukkan bahwa tidak mengapa mengakhirkan shalat Isya’ hingga pertengahan malam. Jika shalatnya dikerjakan pertengahan malam, berarti shalat Isya’ bisa berakhir setelah pertengahan malam. Ini menunjukkan bahwa boleh jadi waktunya sampai terbit fajar shubuh.[3]

Sedangkan dalil bagi ulama yang menyatakan bahwa waktu akhir shalat Isya’ itu sepertiga malam adalah hadits di mana Jibril menjadi imam bagi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pada hari kedua Jibril mengerjakan shalat tersebut pada sepertiga malam. Dalam hadits disebutkan,

وَصَلَّى الْعِشَاءَ إِلَى ثُلُثِ اللَّيْلِ

“Beliau melaksanakan shalat ‘Isya’ hingga sepertiga malam.” (HR. Abu Daud no. 395. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Adapun dalil bahwa waktu akhir shalat Isya adalah pertengahan malam dapat dilihat pada hadits ‘Abdullah bin ‘Amr,

وَوَقْتُ صَلاَةِ الْعِشَاءِ إِلَى نِصْفِ اللَّيْلِ الأَوْسَطِ

“Waktu shalat Isya’ adalah hingga pertengahan malam.” (HR. Muslim no. 612)

Juga dapat dilihat dalam hadits Anas,

أَخَّرَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – صَلاَةَ الْعِشَاءِ إِلَى نِصْفِ اللَّيْلِ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengakhirkan shalat Isya’ hingga pertengahan malam.” (HR. Bukhari no. 572)

Pendapat Lebih Kuat

Di antara dalil-dalil yang dikemukakan di atas yang menunjukkan waktu akhir shalat Isya’ adalah hadits ‘Abdullah bin ‘Amr, “Waktu shalat Isya’ adalah hingga pertengahan malam.” (HR. Muslim no. 612).

Adapun berdalil dengan hadits Abu Qotadah dengan menyatakan bahwa waktu akhir shalat Isya’ itu sampai waktu fajar shubuh adalah pendalilan yang kurang tepat. Karena dalam hadits itu sendiri tidak diterangkan mengenai waktu shalat. Konteks pembicaraannya tidak menunjukkan hal itu. Hadits tersebut cuma menerangkan dosa akibat seseorang mengakhirkan waktu shalat hingga keluar waktunya dengan sengaja.[4]

Sedangkan hadits ‘Aisyah,

أَعْتَمَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- ذَاتَ لَيْلَةٍ حَتَّى ذَهَبَ عَامَّةُ اللَّيْلِ وَحَتَّى نَامَ أَهْلُ الْمَسْجِدِ ثُمَّ خَرَجَ فَصَلَّى فَقَالَ « إِنَّهُ لَوَقْتُهَا لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِى »

“Suatu malam Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendirikan shalat ‘atamah (isya`) sampai berlalu malam dan penghuni masjid pun ketiduran, setelah itu beliau datang dan shalat. Beliau bersabda, ‘Sungguh ini adalah waktu shalat isya’ yang tepat, sekiranya aku tidak memberatkan umatku’.” (HR. Muslim no. 638). Hadits ini bukanlah maksudnya, “Sampai sebagian besar malam berlalu”, namun maksudnya adalah “sampai berlalu malam”. Bisa bermakna demikian karena kita melihat pada konteks hadits selanjutnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam katakan selanjutnya, “Sungguh ini adalah waktu shalat isya’ yang tepat”. Dan tidak pernah seorang ulama yang mengatakan bahwa waktu afdhol untuk shalat Isya’ adalah setelah lewat pertengahan malam.

Masih tersisa satu hadits, yaitu hadits Anas,

أَخَّرَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – صَلاَةَ الْعِشَاءِ إِلَى نِصْفِ اللَّيْلِ ، ثُمَّ صَلَّى

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengakhirkan shalat Isya’ hingga pertengahan malam, kemudian beliau shalat.” (HR. Bukhari no. 572). Hadits tersebut dapat dipahami dengan kita katakan bahwa waktu akhir shalat Isya’ adalah pertengahan malam, artinya pertengahan malam shalat Isya’ itu berkahir. Sedangkan kalimat “kemudian beliau shalat” hanya tambahan dari perowi. Jika memang bukan tambahan perowi, maka benarlah pendapat tersebut, yaitu bahwa boleh jadi shalat Isya dilaksanakan setelah pertengahan malam.[5]

Dengan mempertimbangkan pemahaman dari hadits Anas di atas, artinya hadits tersebut masih bisa dipahami bahwa setelah pertengahan malam masih dilaksanakan shalat Isya’, maka kesimpulan yang terbaik adalah sebagaimana yang diutarakan oleh Ibnu Qudamah. Beliau rahimahullah mengatakan,

وَالْأَوْلَى إنْ شَاءَ اللَّهُ تَعَالَى أَنْ لَا يُؤَخِّرَهَا عَنْ ثُلُثِ اللَّيْلِ ، وَإِنْ أَخَّرَهَا إلَى نِصْفِ اللَّيْلِ جَازَ ، وَمَا بَعْدَ النِّصْفِ وَقْتُ ضَرُورَةٍ ، الْحُكْمُ فِيهِ حُكْمُ وَقْتِ الضَّرُورَةِ فِي صَلَاةِ الْعَصْرِ

“Yang utama, insya Allah Ta’ala, waktu shalat Isya’ tidak diakhirkan dari sepertiga malam. Jika diakhirkan sampai pertengahan malam, itu boleh. Namun jika diakhirkan lebih dari pertengahan malam, maka itu adalah waktu dhoruroh (waktu darurat). Yang dimaksudkan dengan waktu dhoruroh adalah sebagaimana waktu dhoruroh dalam shalat ‘Ashar.”[6]

(*) Ada dua macam waktu shalat yang perlu diketahui:

Pertama, waktu ikhtiyari, yaitu waktu di mana tidak boleh dilewati kecuali bagi orang yang ada udzur. Artinya, selama tidak ada udzur (halangan), shalat tetap dilakukan sebelum waktu ikhtiyari.[7]

Kedua, waktu dhoruroh, yaitu waktu di mana masih boleh melakukan ibadah bagi orang yang ada udzur, seperti wanita yang baru suci dari haidh, orang kafir yang baru masuk Islam, seseorang yang baru baligh, orang gila yang kembali sadar, orang yang bangun karena ketiduran dan orang sakit yang baru sembuh. Orang-orang yang ada udzur boleh melakukan shalat meskipun pada waktu dhoruroh.[8]

Demikian sajian ringkas mengenai waktu akhir shalat Isya’. Inilah sajian yang dapat kami sampaikan sesuai dengan keterbatasan ilmu kami.

Semoga bermanfaat. Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.

28th Syawal 1431 H, Riyadh, KSU, Kingdom of Saudi Arabia

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel www.muslim.or.id

Miskin Tapi Kaya

Imam As-Syafii rahimahullah berkata :

إِذَا مَا كُنْتَ ذَا قَلْبٍ قَنُوْعٍ ….. فَأَنْتَ وَمَالِكُ الدُّنْيَا سَوَاءُ

Jika engkau memiliki hati yang selalu qona’ah …

maka sesungguhnya engkau sama seperti raja dunia

Sekitar tujuh tahun yang lalu saya berkunjung di kamar seorang teman saya di Universitas Madinah yang berasal dari negara Libia, dan kamar tersebut dihuni oleh tiga mahasiswa yang saling dibatasi dengan sitar (kain) sehingga membagi kamar tersebut menjadi tiga petak ruangan kecil berukuran sekitar dua kali tiga meter. Ternyata… ia sekamar dengan seorang mahasiswa yang berasal dari negeri China yang bernama Ahmad. Beberapa kali aku dapati ternyata Ahmad sering dikunjungi teman-temannya para mahasiswa yang lain yang juga berasal dari China. Rupanya mereka sering makan bersama di kamar Ahmad, sementara Ahmad tetap setia memasakkan makanan buat mereka. Akupun tertarik melihat sikap Ahmad yang penuh rendah diri melayani teman-temannya dengan wajah yang penuh senyum semerbak. Ahmad adalah seorang mahasiswa yang telah berkeluarga dan telah dianugerahi seorang anak. Akan tetapi jauhnya ia dari istri dan anaknya tidaklah menjadikan ia selalu dipenuhi kesedihan…, hal ini berbeda dengan kondisi sebagian mahasiswa yang selalu bersedih hati karena memikirkan anak dan istrinya yang jauh ia tinggalkan. Suatu saat akupun menginap di kamar temanku tersebut, maka aku dapati ternyata Ahmad bangun sebelum sholat subuh dan melaksanakan sholat witir, entah berapa rakaat ia sholat. Tatkala ia hendak berangkat ke mesjid maka akupun menghampirinya dan bertanya kepadanya, “Wahai akhi Ahmad, aku lihat engkau senantiasa ceria dan tersenyum, ada apakah gerangan”, Maka Ahmadpun dengan serta merta berkata dengan polos, “Wahai akhi… sesungguhnya Imam As-Syafi’i pernah berkata bahwa jika hatimu penuh dengan rasa qonaa’h maka sesungguhnya engkau dan seorang raja di dunia ini sama saja”.

Aku pun tercengang… sungguh perkataan yang indah dari Imam As-Syafii… rupanya inilah rahasia kenapa Ahmad senantiasa tersenyum.

Para pembaca yang budiman Qona’ah dalam bahasa kita adalah “nerimo” dengan apa yang ada. Yaitu sifat menerima semua keputusan Allah. Jika kita senantiasa merasa nerima dengan apa yang Allah tentukan buat kita, bahkan kita senantiasa merasa cukup, maka sesungguhnya apa bedanya kita dengan raja dunia. Kepuasan yang diperoleh sang raja dengan banyaknya harta juga kita peroleh dengan harta yang sedikit akan tetapi dengan hati yang qona’ah.

Bahkan bagitu banyak raja yang kaya raya ternyata tidak menemukan kepuasan dengan harta yang berlimpah ruah… oleh karenanya sebenarnya kita katakan “Jika Anda memiliki hati yang senantiasa qona’ah maka sesungguhnya Anda lebih baik dari seorang raja di dunia”.

Kalimat qona’ah merupakan perkataan yang ringan di lisan akan tetapi mengandung makna yang begitu dalam. Sungguh Imam As-Syafi’i tatkala mengucapkan bait sya’ir diatas sungguh-sungguh dibangun di atas ilmu yang kokoh dan dalam.

Seseorang yang qona’ah dan senantiasa menerima dengan semua keputusan Allah menunjukkan bahwa ia benar-benar mengimani taqdir Allah yang merupakan salah satu dari enam rukun Iman.

Ibnu Batthool berkata

وَغِنَى النَّفْسِ هُوَ بَابُ الرِّضَا بِقَضَاءِ اللهِ تَعَالىَ وَالتَّسْلِيْم لأَمْرِهِ، عَلِمَ أَنَّ مَا عِنْدَ اللهِ خَيْرٌ للأَبْرَارِ، وَفِى قَضَائِهِ لأوْلِيَائِهِ الأَخْيَارِ

“Dan kaya jiwa (qona’ah) merupakan pintu keridhoan atas keputusan Allah dan menerima (pasrah) terhadap ketetapanNya, ia mengetahui bahwasanya apa yang di sisi Allah lebih baik bagi orang-orang yang baik, dan pada ketetapan Allah lebih baik bagi wali-wali Allah yang baik” (Syarh shahih Al-Bukhari)

Orang yang qona’ah benar-benar telah mengumpulkan banyak amalan-amalan hati yang sangat tinggi nilainya. Ia senantiasa berhusnudzon kepada Allah, bahwasanya apa yang Allah tetapkan baginya itulah yang terbaik baginya. Ia bertawakkal kepada Allah dengan menyerahkan segala urusannya kepada Allah, sedikitnya harta di tangannya tetap menjadikannya bertawakkal kepada Allah, ia lebih percaya dengan janji Allah daripada kemolekan dunia yang menyala di hadapan matanya.

Al-Hasan Al-Bashri pernah berkata ;

إِنَّ مِنْ ضَعْفِ يَقِيْنِكَ أَنْ تَكُوْنَ بِمَا فِي يَدِكَ أَوْثَقُ مِنْكَ بِمَا فِي يَدِ اللهِ

“Sesungguhnya di antara lemahnya imanmu engkau lebih percaya kepada harta yang ada di tanganmu dari pada apa yang ada di sisi Allah” (Jami’ul ‘Uluum wal hikam 2/147)

Orang yang qona’ah tidak terpedaya dengan harta dunia yang mengkilau, dan ia tidak hasad kepada orang-orang yang telah diberikan Allah harta yang berlimpah. Ia qona’ah… ia menerima semua keputusan dan ketetapan Allah. Bagaimana orang yang sifatnya seperti ini tidak akan bahagia..???!!!

Allah berfirman,

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam Keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan Sesungguhnya akan Kami beri Balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. (An-Nahl : 97)

Ali bin Abi Tholib radhiallahu ‘anhu dan Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata :الحَيَاةُ الطَّيِّبَةُ الْقَنَاعَةُ Kehidupan yang baik adalah qona’ah (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir At-Thobari dalam tafsirnya 17/290)

Renungkanlah bagaimana kehidupan orang yang paling bahagia yaitu Nabi kita shallallahu ‘alahi wa sallam…sebagaimana dituturkan oleh Aisyah radhiallahu ‘anhaa,

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّهَا قَالَتْ لِعُرْوَةَ ابْنَ أُخْتِي إِنْ كُنَّا لَنَنْظُرُ إِلَى الْهِلَالِ ثُمَّ الْهِلَالِ ثَلَاثَةَ أَهِلَّةٍ فِي شَهْرَيْنِ وَمَا أُوقِدَتْ فِي أَبْيَاتِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَارٌ فَقُلْتُ يَا خَالَةُ مَا كَانَ يُعِيشُكُمْ قَالَتْ الْأَسْوَدَانِ التَّمْرُ وَالْمَاءُ إِلَّا أَنَّهُ قَدْ كَانَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جِيرَانٌ مِنْ الْأَنْصَارِ كَانَتْ لَهُمْ مَنَائِحُ وَكَانُوا يَمْنَحُونَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ أَلْبَانِهِمْ فَيَسْقِينَا

Aisyah berkata kepada ‘Urwah, “Wahai putra saudariku, sungguh kita dahulu melihat hilal kemudian kita melihat hilal (berikutnya) hingga tiga hilal selama dua bulan, akan tetapi sama sekali tidak dinyalakan api di rumah-rumah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam”. Maka aku (Urwah) berkata, “Wahai bibiku, apakah makanan kalian?”, Aisyah berkata, “Kurma dan air”, hanya saja Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki tetangga dari kaum Anshoor, mereka memiliki onta-onta (atau kambing-kambing) betina yang mereka pinjamkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk diperah susunya, maka Rasulullahpun memberi susu kepada kami dari onta-onta tersebut” (HR Al-Bukhari no 2567 dan Muslim no 2972)

Dua bulan berlalu di rumah Rasulullah akan tetapi tidak ada yang bisa dimasak sama sekali di rumah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Makanan beliau hanyalah kurma dan air.

Rumah beliau sangatlah sempit sekitar 3,5 kali 5 meter dan sangat sederhana. ‘Athoo’ Al-Khurosaani rahimahullah berkata : “Aku melihat rumah-rumah istri-istri Nabi terbuat dari pelepah korma, dan di pintu-pintunya ada tenunan serabut-serabut hitam. Aku menghadiri tulisan (keputusan) Al-Waliid bin Abdil Malik (khalifah tatkala itu) dibaca yang memerintahkan agar rumah istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dimasukan dalam areal mesjid Rasululullah. Maka aku tidak pernah melihat orang-orang menangis sebagaimana tangisan mereka tatkala itu (karena rumah-rumah tersebut akan dipugar dan dimasukan dalam areal mesjid-pen). Aku mendengar Sa’iid bin Al-Musayyib berkata pada hari itu,

واللهِ لَوَدِدْتُ أَنَّهُمْ تَرَكُوْهَا عَلَى حَالِهَا يَنْشَأُ نَاشِيءٌ مِنْ أَهْلِ الْمَدِيْنَةِ وَيَقْدُمُ الْقَادِمُ مِنَ الأُفُقِ فَيَرَى مَا اكْتَفَى بِهِ رَسُوْلُ اللهِ فِي حَيَاتِهِ فَيَكُوْنُ ذَلِكَ مِمَّا يُزَهِّدُ النَّاسَ فِي التَّكَاثُرِ وَالتَّفَاخُرِ

“Sungguh demi Allah aku sangat berharap mereka membiarkan rumah-rumah Rasulullah sebagaimana kondisinya, agar jika muncul generasi baru dari penduduk Madinah dan jika datang orang-orang dari jauh ke kota Madinah maka mereka akan melihat bagaimana kehidupan Rasulullah. Hal ini akan menjadikan orang-orang mengurangi sikap saling berlomba-lomba dalam mengumpulkan harta dan sikap saling bangga-banggaan” (At-Tobaqoot Al-Kubroo li Ibn Sa’ad 1/499)

Orang-orang mungkin mencibirkan mulut tatkala memandang seorang yang qona’ah yang berpenampilan orang miskin.., karena memang ia adalah seorang yang miskin harta. Akan tetapi sungguh kebahagiaan telah memenuhi hatinya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ

“Bukanlah kekayaan dengan banyaknya harta benda, akan tetapi kekayaan yang haqiqi adalah kaya jiwa (hati)” (HR Al-Bukhari no 6446 dan Muslim no 1050)

Ibnu Battool rahimahullah berkata, “Karena banyak orang yang dilapangkan hartanya oleh Allah ternyata jiwanya miskin, ia tidak nerimo dengan apa yang Allah berikan kepadanya, maka ia senantiasa berusaha untuk mencari tambahan harta, ia tidak perduli dari mana harta tersebut, maka seakan-akan ia adalah orang yang kekurangan harta karena semangatnya dan tamaknya untuk mengumpul-ngumpul harta. Sesungguhnya hakekat kekayaan adalah kayanya jiwa, yaitu jiwa seseorang yang merasa cukup (nerimo) dengan sedikit harta dan tidak bersemangat untuk menambah-nambah hartanya, dan nafsu dalam mencari harta, maka seakan-akan ia adalah seorang yang kaya dan selalu mendapatkan harta” (Syarh Ibnu Batthool terhadap Shahih Al-Bukhari)

Abu Dzar radhiallahu ‘anhu menceritakan bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkata kepadanya,

يَا أَبَا ذَر، أَتَرَى كَثْرَةَ الْمَالِ هُوَ الْغِنَى؟ قُلْتُ : نَعَمْ يَا رَسُوْلَ اللهِ، قَالَ : أَفَتَرَى قِلَّةِ الْمَالِ هُوَ الْفَقْرُ؟ قُلْتُ : نَعَمْ يَا رَسُوْلَ اللهِ. قال : إِنَّمَا الْغِنَى غِنَى الْقَلْبِ وَالْفَقْرُ فَقْرُ الْقَلْبِ

“Wahai Abu Dzar, apakah engkau memandang banyaknya harta merupakan kekayaan?”. Aku (Abu Dzar) berkata : “Iya Rasulullah”. Rasulullah berkata : “Apakah engkau memandang bahwa sedikitnya harta merupakan kemiskinan?”, Aku (Abu Dzar ) berkata, “Benar Rasulullah”. Rasulullahpun berkata : “Sesungguhnya kekayaan (yang hakiki-pen) adalah kayanya hati, dan kemisikinan (yang hakiki-pen) adalah miskinnya hati” (HR Ibnu Hibbaan dan dishahihkan oleh Syaikh Albani dalam shahih At-Targiib wa At-Tarhiib no 827)

Maka orang yang qona’ah meskipun miskin namun pada hakikatnya sesungguhnya ialah orang yang kaya.

Madinah, 10 04 1432 H / 15 03 2011 M

Penulis: Ustadz Firanda Andirja, Lc, MA

Artikel www.muslim.or.id

Jumat, 11 Maret 2011

Tujuh Manfaat Doa

Saudaraku ... do’a itu memiliki banyak sekali fadhilah atau keutamaan. Berikut beberapa di antaranya:

Pertama: Do’a adalah ibadah dan salah satu bentuk ketaatan kepada Allah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الدُّعَاءُ هُوَ الْعِبَادَةُ

“Do’a adalah ibadah.” (HR. Abu Daud no. 1479, At Tirmidzi no. 2969, Ibnu Majah no. 3828 dan Ahmad 4/267; dari An Nu’man bin Basyir)
Kedua: Do’a adalah sebab untuk mencegah bala’ bencana.
Ketiga: Do’a itu amat bermanfaat dengan izin Allah. Manfaat do’a ada dalam tiga keadaan sebagaimana yang disebutkan dalam hadits berikut,

« ما مِنْ مُسْلِمٍ يَدْعُو بِدَعْوَةٍ لَيْسَ فِيهَا إِثْمٌ وَلاَ قَطِيعَةُ رَحِمٍ إِلاَّ أَعْطَاهُ اللَّهُ بِهَا إِحْدَى ثَلاَثٍ إِمَّا أَنْ تُعَجَّلَ لَهُ دَعْوَتُهُ وَإِمَّا أَنْ يَدَّخِرَهَا لَهُ فِى الآخِرَةِ وَإِمَّا أَنُْ يَصْرِفَ عَنْهُ مِنَ السُّوءِ مِثْلَهَا ». قَالُوا إِذاً نُكْثِرُ. قَالَ « اللَّهُ أَكْثَرُ »

“Tidaklah seorang muslim memanjatkan do’a pada Allah selama tidak mengandung dosa dan memutuskan silaturahmi (antar kerabat, pen) melainkan Allah akan beri padanya tiga hal: [1] Allah akan segera mengabulkan do’anya, [2] Allah akan menyimpannya baginya di akhirat kelak, dan [3] Allah akan menghindarkan darinya kejelekan yang semisal.” Para sahabat lantas mengatakan, “Kalau begitu kami akan memperbanyak berdo’a.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas berkata, “Allah nanti yang memperbanyak mengabulkan do'a-do'a kalian.” (HR. Ahmad 3/18, dari Abu Sa'id. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanadnya jayyid)

Keempat: Do’a adalah sebab kuat dan semakin mendapatkan pertolongan menghadapi musuh. Kelima: Do’a merupakan bukti benarnya iman dan pengenalan seseorang pada Allah baik dalam rububiyah, uluhiyah maupun nama dan sifat-Nya. Do’a seorang manusia kepada Rabbnya menunjukkan bahwa ia yakini Allah itu ada dan Allah itu Maha Ghoni (Maha Mencukupi), Maha Melihat, Maha Mulia, Maha Pengasih, Maha Mampu, Rabb yang berhak diibadahi semata tidak pada selainnya.

Keenam: Do’a menunjukkan bukti benarnya tawakkal seseorang kepada Allah Ta’ala. Karena seorang yang berdo’a ketika berdo’a, ia berarti meminta tolong pada Allah. Ia pun berarti menyerahkan urusannya kepada Allah semata tidak pada selain-Nya.

Ketujuh: Do’a adalah sebagai peredam murka Allah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ لَمْ يَسْأَلِ اللَّهَ يَغْضَبْ عَلَيْهِ

“Barangsiapa yang tidak meminta pada Allah, maka Allah akan murka padanya.” (HR. Tirmidzi no. 3373. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan)

Semoga faedah ilmu ini memberikan kita motivasi untuk terus berdo’a dan banyak memohon pada Allah. Setiap do’a pasti bermanfaat. Setiap do’a pasti akan diberi yang terbaik oleh Allah menurut-Nya. Jadi jangan putus untuk terus memohon.

Semoga sajian singkat di malam ini bermanfaat.

Worth note during the journey in Riyadh with KSU’s student from mini book “Aktsar min 1000 Da’wah”, written by Kholid Al Husainan, page: 15-16.



Written at night, on 13 Dzulqo’dah 1431 H (22/10/2010), in KSU, Riyadh, KSA

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Cinta Sejati Kepada Sang Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam

Hukum Mencintai Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
Pada suatu hari Umar bin Khattab berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya engkau lebih aku cintai dari segala sesuatu kecuali dari diriku sendiri.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menjawab, “Tidak, demi Allah, hingga aku lebih engkau cintai daripada dirimu sendiri.” Maka berkatalah Umar, “Demi Allah, sekarang engkau lebih aku cintai daripada diriku sendiri!” (HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya, lihatFath al-Bari [XI/523] no: 6632)
Di lain kesempatan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan, “Demi Allah, salah seorang dari kalian tidak akan dianggap beriman hingga diriku lebih dia cintai dari pada orang tua, anaknya dan seluruh manusia.” (HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya, lihat Fath al-Bari [I/58] no: 15, dan Muslim dalam Shahih-nya [I/67 no: 69])
Banyak sekali hadits-hadits yang senada dengan dua hadits di atas, yang menekankan wajibnya mencintai Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam, karena hal itu merupakan salah satu inti agama, hingga keimanan seseorang tidak dianggap sempurna hingga dia merealisasikan cinta tersebut. Bahkan seorang muslim tidak mencukupkan diri dengan hanya memiliki rasa cinta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saja, akan tetapi dia dituntut untuk mengedepankan kecintaannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam -tentunya setelah kecintaan kepada Allah- atas kecintaan dia kepada dirinya sendiri, orang tua, anak dan seluruh manusia.
Potret Kecintaan Para Sahabat Kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
Bicara masalah cinta Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tanpa diragukan lagi adalah orang terdepan dalam perealisasian kecintaan mereka kepada Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mengapa? Sebab cinta dan kasih sayang merupakan buah dari perkenalan, dan para sahabat merupakan orang yang paling mengenal dan paling mengetahui kedudukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak mengherankan jika cinta mereka kepada Beliau jauh lebih besar dan lebih dalam dibandingkan kecintaan orang-orang yang datang sesudah mereka.
Di antara bukti perkataan di atas, adalah suatu kejadian yang terekam dalam sejarah yaitu: Perbincangan yang terjadi antara Abu Sufyan bin Harb -sebelum ia masuk Islam- dengan sahabat Zaid bin ad-Datsinah rodhiallahu ‘anhu ketika beliau tertawan oleh kaum musyrikin lantas dikeluarkan oleh penduduk Mekkah dari tanah haram untuk dibunuh. Abu Sufyan berkata, “Ya Zaid, maukah posisi kamu sekarang digantikan oleh Muhammad dan kami penggal lehernya, kemudian engkau kami bebaskan kembali ke keluargamu?” Serta merta Zaid menimpali, “Demi Allah, aku sama sekali tidak rela jika Muhammad sekarang berada di rumahnya tertusuk sebuah duri, dalam keadaan aku berada di rumahku bersama keluargaku!!!” Maka Abu Sufyan pun berkata, “Tidak pernah aku mendapatkan seseorang mencintai orang lain seperti cintanya para sahabat Muhammad kepada Muhammad!” (Al-Bidayah wa an-Nihayah, karya Ibnu Katsir [V/505], dan kisah ini diriwayatkan pula oleh al-Baihaqy dalam Dalail an-Nubuwwah [III/326]). Kisah lain diceritakan oleh sahabat Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, “Di tengah-tengah berkecamuknya peperangan Uhud, tersebar desas-desus di antara penduduk Madinah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terbunuh, hingga terdengarlah isakan tangisan di penjuru kota Madinah. Maka keluarlah seorang wanita dari kalangan kaum Anshar dari rumahnya, di tengah-tengah jalan dia diberitahu bahwa bapaknya, anaknya, suaminya dan saudara kandungnya telah tewas terbunuh di medan perang. Ketika dia memasuki sisa-sisa kancah peperangan, dia melewati beberapa jasad yang bergelimpangan, “Siapakah ini?”, tanya perempuan itu. “Bapakmu, saudaramu, suamimu dan anakmu!”, jawab orang-orang yang ada di situ. Perempuan itu segera menyahut, “Apa yang terjadi dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?!” Mereka menjawab, “Itu ada di depanmu.” Maka perempuan itu bergegas menuju Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menarik bajunya seraya berkata, “Demi Allah wahai Rasulullah, aku tidak akan mempedulikan (apapun yang menimpa diriku) selama engkau selamat!” (Disebutkan oleh al-Haitsami dalam Majma’ az-Zawaid [VI/115], dan dia berkata, “Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam al-Ausath dari syaikhnya Muhammad bin Su’aib dan aku tidak mengenalnya, sedangkan perawi yang lain adalah terpercaya.” Diriwayatkan pula oleh Abu Nu’aim dalam al-Hilyah [II/72, 332]).
Demikianlah sebagian dari potret kepatriotan para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mengungkapkan rasa cinta mereka kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Pahala Bagi Orang yang Mencintai Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
Tentunya cinta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan suatu ibadah yang amat besar pahalanya. Banyak ayat-ayat Al Quran maupun hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjelaskan ganjaran yang akan diperoleh seorang hamba dari kecintaan dia kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antara dalil-dalil tersebut:
Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu mengisahkan, “Ada seseorang yang bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang hari kiamat, “Kapankah kiamat datang?” Nabi pun shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Apa yang telah engkau persiapkan untuk menghadapinya?” Orang itu menjawab, “Wahai Rasulullah, aku belum mempersiapkan shalat dan puasa yang banyak, hanya saja aku mencintai Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Maka Rasulullah pun shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seseorang (di hari kiamat) akan bersama orang yang dicintainya, dan engkau akan bersama yang engkau cintai.” Anas pun berkata, “Kami tidak lebih bahagia daripada mendengarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Engkau akan bersama orang yang engkau cintai.’” Anas kembali berkata, “Aku mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar dan Umar, maka aku berharap akan bisa bersama mereka (di hari kiamat), dengan cintaku ini kepada mereka, meskipun aku sendiri belum (bisa) beramal sebanyak amalan mereka.” (HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya, lihat Fath al-Bari [X/557 no: 6171] dan at-Tirmidzi dalam Sunan-nya [2385])
Adakah keberuntungan yang lebih besar dari tinggal bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya di surga kelak??
Hakikat Cinta Pada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan Ragam Manusia di Dalamnya
Setelah kita sedikit membahas tentang hukum mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beberapa potret cinta para sahabat kepada Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta ganjaran yang akan diraih oleh orang yang mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ada perkara yang amat penting untuk kita ketahui berkenaan dengan masalah ini, yaitu: bagaimanakah sebenarnya hakikat cinta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?, bagaimanakah seorang muslim mengungkapkan rasa cintanya kepada al-Habib al-Mushthafa shallallahu ‘alaihi wa sallam? Apa saja yang harus direalisasikan oleh seorang muslim agar dia dikatakan telah mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam? Masalah ini perlu kita angkat, karena di zaman ini banyak orang yang menisbatkan diri mereka ke agama Islam mengaku bahwa mereka telah mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan telah mengagungkannya. Akan tetapi apakah setiap orang yang mengaku telah merealisasikan sesuatu, dapat diterima pengakuannya? Ataukah kita harus melihat dan menuntut darinya bukti-bukti bagi pengakuannya? Tentunya alternatif yang kedua-lah yang seyogyanya kita ambil.
Manusia telah terbagi menjadi tiga golongan dalam memahami makna cinta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
Golongan yang berlebih-lebihan.
Golongan yang meremehkan.
Golongan tengah.
Kita mulai dari golongan tengah, yakni yang benar dalam memahami makna cinta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Golongan ini senantiasa menjadikan Al Quran dan As Sunnah sebagai landasan mereka dalam mengungkapkan rasa cinta mereka kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka pun meneladani para generasi awal umat ini (baca: salafush shalih) dalam mengungkapkan rasa cinta kepada Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena salafush shalih adalah generasi terbaik umat ini, sebagaimana yang telah ditegaskan oleh Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam suatu hadits yang diriwayatkan Al Bukhari dan Muslim, “Sebaik-baik manusia adalah generasiku (para sahabat), kemudian generasi sesudah mereka (para tabi’in), kemudian generasi sesudah mereka (para tabi’it tabi’in).” (HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya, lihat Fath al-Bari [V/258-259, no: 2651], dan Muslim dalamShahih-nya [IV/1962, no: 2533])
Di antara bukti kecintaan mereka yang hakiki kepada Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, antara lain:
a. Meyakini bahwa Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam benar-benar utusan Allah subhanahu wa ta’ala, dan Beliau adalah Rasul yang jujur dan terpercaya, tidak berdusta maupun didustakan. Juga beriman bahwasanya beliaushallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Nabi yang paling akhir, penutup para nabi. Setiap ada yang mengaku-aku sebagai nabi sesudah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pengakuannya adalah dusta, palsu dan batil. (Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, oleh Syeikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin hal: 137, Ad-Durar as-Saniyyah bi Fawaid al-Arba’in an-Nawawiyah, hal 38, Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, oleh Syeikh Shalih Alu Syaikh, hal 56).
b. Menaati perintah dan menjauhi larangannya. Allah menegaskan,
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا
“Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia, dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.” (QS. Al-Hasyr: 7)
c. Membenarkan berita-berita yang beliau sampaikan, baik itu berupa berita-berita yang telah terjadi maupun yang belum terjadi, karena berita-berita itu adalah wahyu yang datang dari Allah subhanahu wa ta’ala.
وَمَا يَنطِقُ عَنِ الْهَوَى إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu, menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (QS. An-Najm: 3-4)
d. Beribadah kepada Allah dengan tata-cara yang telah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tanpa ditambah-tambah ataupun dikurangi. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu.” (QS. Al-Ahzab: 21)
Juga Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan, “Barang siapa yang melakukan suatu amalan yang tidak sesuai dengan petunjukku, maka amalan itu akan ditolak.” (HR. Muslim dalam Shahih-nya (III/1344 no 1718).
e. Meyakini bahwa syariat yang berasal dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam setingkat dengan syari’at yang datang dari Allah subhanahu wa ta’ala dari segi keharusan untuk mengamalkannya, karena apa yang disebutkan di dalam As Sunnah, serupa dengan apa yang disebutkan di dalam Al Quran (Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, oleh Syeikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin hal: 138). Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (yang artinya):
مَّنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللّهَ
“Barang siapa yang menaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah menaati Allah.” (QS. An-Nisa: 80)
f. Membela Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala Beliau masih hidup, dan membela ajarannya setelah beliau wafat. Dengan cara menghafal, memahami dan mengamalkan hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Juga menghidupkan sunnahnya dan menyebarkannya di masyarakat.
g. Mendahulukan cinta kepadanya dari cinta kepada selainnya. Sebagaimana kisah yang dialami oleh Umar di atas, akan tetapi jangan sampai dipahami bahwa cinta kita kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam akan membawa kita untuk bersikap ghuluw (berlebih-lebihan), sehingga mengangkat kedudukan beliau melebihi kedudukan yang Allah subhanahu wa ta’ala karuniakan kepada Nabi-Nya. Sebagaimana halnya perbuatan sebagian orang yang membersembahkan ibadah-ibadah yang seharusnya dipersembahkan hanya kepada Allah subhanahu wa ta’ala, dia persembahkan untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Contohnya: ber-istighatsah (meminta pertolongan) dan memohon kepadanya, meyakini bahwa beliau mengetahui semua perkara-perkara yang ghaib, dan lain sebagainya. Jauh-jauh hari Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memperingatkan umatnya agar tidak terjerumus ke dalam sikap ekstrem ini, “Janganlah kalian berlebih-lebihan dalam memujiku sebagaimana orang-orang Nashrani berlebih-lebihan dalam memuji (Isa) bin Maryam, sesungguhnya aku hanyalah hamba-Nya, maka ucapkanlah (bahwa aku): hamba Allah dan rasul-Nya.” (HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya, lihat Fath al-Bari [VI/478 no: 3445])
h. Termasuk tanda mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, adalah mencintai orang-orang yang dicintainya. Mereka antara lain: keluarga dan keturunannya (ahlul bait), para sahabatnya (Asy-Syifa bi Ta’rifi Huquq al-Mushthafa, karya al-Qadli ‘Iyadl [II/573], Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyah [III/407], untuk pembahasan lebih luas silahkan lihat: Huquq an-Nabi ‘Ala Ummatihi fi Dhaui al-Kitab wa as-Sunnah, karya Prof. Dr. Muhammad bin Khalifah at-Tamimi [I/344-358]), serta setiap orang yang mencintai beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Juga masih dalam kerangka mencintai Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam, adalah kewajiban untuk memusuhi setiap orang yang memusuhinya serta menjauhi orang yang menyelisihi sunnahnya dan berbuat bid’ah. (Asy-Syifa bi Ta’rifi Huquq al-Mushthafa, [2/575], untuk pembahasan lebih lanjut silahkan lihat: Huquq an-Nabi ‘Ala Ummatihi [I/359-361]).
Adapun golongan yang meremehkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, adalah orang-orang yang lalai dalam merealisasikan kecintaan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka tidak memperhatikan hak-hak Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah disebutkan di atas.
Di antara potret peremehan mereka adalah: Sangkaan mereka bahwa hanya dengan meyakini kerasulan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah cukup untuk merealisasikan cinta kepada Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, tanpa harus “capek-capek” mengikuti tuntunannya dalam kehidupan sehari-hari.
Bahkan di antara mereka ada yang belum bisa menerima dengan hati legowo tentang ke-ma’shum-an (dilindunginya) Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dari kesalahan-kesalahan dalam menyampaikan wahyu, sehingga perlu untuk dikritisi. Sebagaimana yang digembar-gemborkan oleh koordinator JIL, Ulil Abshar Abdalla, “Menurut saya: Rasul Muhammad Saw adalah tokoh historis yang harus dikaji dengan kritis, (sehingga tidak hanya menjadi mitos yang dikagumi saja, tanpa memandang aspek-aspek beliau sebagai manusia yang juga banyak kekurangannya), sekaligus panutan yang harus diikuti (qudwah hasanah).” (Islam Liberal & Fundamental, Sebuah Pertarungan Wacana, Ulil Abshar Abdalla dkk, hal 9-10).
Ada juga yang merasa berat untuk meyakini bahwa tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bisa diterapkan di segala zaman, sehingga harus “bergotong royong” untuk menyusun fikih gaya baru, yang digelari Fikih Lintas Agama. Dengan alasan “fiqih klasik tidak mampu lagi menampung perkembangan kebutuhan manusia modern, termasuk soal dimensi hubungan agama-agama.” (Fiqih Lintas Agama, Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis, Nurcholis Madjid dkk, hal: ix).
Di antara bentuk peremehan terhadap Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah ulah Koran Denmark “Jyllands-Posten”, pada hari Sabtu, 26 Sya’ban 1426/30 September 2005, dengan memuat karikatur penghinaan terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Akhzahumullah wa qatha’a aidiyahum, amien.
Dan masih banyak contoh-contoh nyata lainnya yang menggambarkan beraneka ragamnya kekurangan banyak orang yang menisbatkan diri mereka kepada agama Islam dalam merealisasikan cinta mereka kepada Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam. Yang itu semua bermuara pada penyakit tidak dijadikannya Al Quran dan As Sunnah dan pemahaman salaf sebagai barometer dalam mengukur kecintaan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Golongan ketiga adalah orang-orang yang ghuluw, yaitu mereka yang berlebih-lebihan dalam mengungkapkan cinta mereka kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, hingga mereka mengada-adakan amalan-amalan yang sama sekali tidak disyari’atkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tidak pernah dilakukan oleh salafush shalih yang mana mereka adalah orang-orang yang paling tinggi kecintaannya kepada Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Golongan ketiga ini mengira bahwa amalan-amalan tersebut merupakan bukti kecintaan mereka kepada Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Di antara sikap ekstrem yang mereka tampakkan; berlebihan dalam mengagung-agungkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, hingga menyifatinya dengan sifat-sifat yang merupakan hak prerogatif Allah subhanahu wa ta’ala. Di antara bukti sikap ini adalah apa yang ada dalam “Qashidah al-Burdah” yang sering disenandungkan dalam acara peringatan maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
يَا أَكْرَمَ الْخَلْقِ مَا لِي مَنْ أَلُوْذُ بِهِ سِوَاكَ عِنْدَ حُلُوْلِ الْحَادِثِ العَمِمِ …
فَإِنَّ مِنْ جُوْدِكَ الدُّنْيَا وَضَرَّتَهَا وَمِنْ عُلُوْمِكَ عِلْمُ اللَّوْحِ وَالْقَلَمِ
“Wahai insan yang paling mulia (Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam)!
Tiada seseorang yang dapat kujadikan perlindungan selain dirimu, ketika datang musibah yang besar…
Karena kebaikan dunia dan akhirat adalah sebagian kedermawananmu,
dan sebagian dari ilmumu adalah ilmu lauh (mahfudz) dan qalam”
(Tabrid al-Buldah fi Tarjamati Matn al-Burdah, M. Atiq Nur Rabbani, hal: 56).
La haula wa la quwwata illa billah… Bukankah kita diperintahkan untuk memohon perlindungan hanya kepada Allah subhanahu wa ta’ala ketika tertimpa musibah?? (Lihat: QS. Al An’am: 17 dan At Taghabun: 11). Bukankah kebaikan dunia dan akhirat bersumber dari Allah semata?! Kalau bukan kenapa kita selalu berdo’a: “Rabbana atina fid dun-ya hasanah wa fil akhirati hasanah…” ?? Terus kalau ilmu lauh mahfudz dan ilmu qalam adalah sebagian dari ilmu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, lantas apa yang tersisa untuk Robb kita Allah subhanahu wa ta’ala??!! Inaa lillahi wa inna ilaihi raji’un…
Di antara amalan yang sering dipergunakan sebagai sarana untuk mengungkapkan rasa cinta mereka kepada Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam adalah merayakan peringatan maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sampai-sampai sudah menjadi budaya, hingga timbul semacam ketakutan moral diasingkan dari arena sosial jika tidak mengikutinya. Bahkan ada yang merasa berdosa jika tidak turut menyukseskannya.
Pernahkah terbetik pertanyaan dalam benak mereka: Apakah perayaan maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ini pernah diperintahkan oleh Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam? Apakah para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengerjakannya? Atau mungkin salah seorang dari generasi Tabi’in atau Tabi’it Tabi’in pernah merayakannya? Kenapa pertanyaan-pertanyaan ini perlu untuk diajukan? Karena merekalah generasi yang telah dipuji oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai generasi terbaik umat ini, dan Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam telah kabarkan bahwa perpecahan serta bid’ah akan menjamur setelah masa mereka berlalu. Ditambah lagi merekalah orang-orang yang paling sempurna dalam merealisasikan kecintaan kepada Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Merujuk kepada literatur sejarah, kita akan dapatkan bahwa acara maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah sekalipun dirayakan pada masa tiga generasi awal umat ini, banyak sekali para ulama kita yang menegaskan hal ini.
Di antara para ulama yang menjelaskan bahwa Maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah dikerjakan pada masa-masa itu:
Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalany, sebagaimana yang dinukil oleh as-Suyuthi dalam Husn al-Maqshid fi ‘Amal al-Maulid lihat al-Hawi lil Fatawa (I/302).
Al-Hafidz Abul Khair as-Sakhawy, sebagaimana yang dinukil oleh Muhammad bin Yusuf ash-Shalihy dalam Subul al-Huda wa ar-Rasyad fi Sirati Khairi al-’Ibad (I/439).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dalam Iqtidha ash-Shirath al-Mustaqim (I/123).
Ibnul Qayyim, dalam kitabnya I’lam al-Muwaqqi’in (II/390-391).
Al-Imam Tajuddin Umar bin Lakhmi al-Fakihani, di dalam risalahnya: Al-Maurid fi al-Kalami ‘ala al-Maulid, hal: 8.
Al-Imam Abu Zur’ah al-Waqi, sebagaimana yang dinukil oleh Ahmad bin Muhammad bin ash-Shiddiq dalam kitabnya Tasynif al-Adzan, hal: 136.
Ibnu al-Haj, dalam kitabnya al-Madkhal (II/11-12, IV/278).
Abu Abdillah Muhammad al-Hafar, sebagaimana yang dinukil oleh Ahmad bin Yahya al-Wansyarisi dalam kitabnyaal-Mi’yar al-Mu’rib wa al-Jami’ al-Mughrib ‘an Fatawa Ulama Ifriqiyah wa al-Andalus wa al-Maghrib (VII/99-100).
Muhammad Abdussalam asy-Syuqairi, dalam kitabnya as-Sunan wa al-Mubtada’at al-Muta’alliqah bi al-Adzkar wa ash-Shalawat, hal: 139.
Ali Fikri, dalam kitabnya al-Muhadharat al-Fikriyah, hal: 128.
Lantas siapakah dan kapankah maulid pertama kali diadakan? Maulid pertama kali dirayakan pada abad ke empat hijriah (kurang lebih empat ratus tahun sesudah wafatnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam) oleh seorang yang bernama al-Mu’iz lidinillah al-’Ubaidi, salah seorang raja Kerajaan al-Ubaidiyah al-Fathimiyah yang mengikuti paham sekte sesat Bathiniyah (Lihat kesesatan-kesesatan mereka dalam kitab Fadhaih al-Bathiniyah, karya Abu Hamid al-Ghazali, dan Kasyful Asrar wa Hatkul Asrar, karya al-Qadhi Abu Bakr al-Baqillani). Sebagaimana yang dijelaskan oleh para ulama.
Di antara para ulama yang mengungkapkan fakta ini:
Al-Imam al-Muarrikh Ahmad bin Ali al-Maqrizi asy-Syafi’i (w 766 H), dalam kitabnya al-Mawa’idz wa al-I’tibar fi Dzikri al-Khuthathi wa al-Atsar (I/490).
Al-Imam Tajuddin Umar bin Lakhmi al-Fakihani, di dalam risalahnya: Al-Maurid fi al-Kalami ‘ala al-Maulid, hal: 8.
Ahmad bin Ali Al-Qalqasyandi asy-Syafi’i (w 821), dalam kitabnya Shubh al-A’sya fi Shiyaghat al-Insya’ (3/502).
Hasan As-Sandubi dalam kitabnya Tarikh al-Ihtifal bi al-Maulid an-Nabawi, hal: 69.
Muhammad Bakhit al-Muthi’i (mufti Mesir di zamannya) dalam kitabnya Ahsan al-Kalam fima Yata’allaqu bi as-Sunnah wa al-Bid’ah min al-Ahkam, hal: 59.
Ismail bin Muhammad al-Anshari, dalam kitabnya al-Qaul al-Fashl fi Hukm al-Ihtifal bi Maulid Khair ar-Rusul shallallahu ‘alaihi wa sallam, hal: 64.
Ali Mahfudz, dalam kitabnya al-Ibda’ fi Madhar al-Ibtida’, hal: 126.
Ali Fikri, dalam kitabnya al-Muhadharat al-Fikriyah, hal: 128.
Ali al-Jundi, dalam kitabnya Nafh al-Azhar fi Maulid al-Mukhtar, hal: 185-186.
Apa yang melatarbelakanginya untuk mengadakan perayaan ini? Berhubung mereka telah melakukan pemberontakan terhadap Khilafah Abbasiyah, dan mendirikan negara sendiri di Mesir dan Syam yang mereka namai Al Fathimiyah, maka kaum muslimin di Mesir dan Syam tidak suka melihat tingkah laku mereka, serta cara mereka dalam menjalankan tali pemerintahan, hingga pemerintah kerajaan itu (Bani Ubaid) merasa khawatir akan digulingkan oleh rakyatnya. Maka dalam rangka mengambil hati rakyatnya, al-Mu’iz lidinillah al-’Ubaidi mengadakan acara maulid Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam, ditambah dengan maulid-maulid lain seperti maulid Fatimah, maulid Ali, maulid Hasan, maulid Husain dan maulid-maulid lainnya. Termasuk perayaan Isra Mi’raj dan perayaan tahun Hijriah. Hingga para ulama zaman itu berjibaku untuk mengingkari bid’ah-bid’ah itu, begitu pula para ulama abad kelima dan abad keenam. Pada awal abad ketujuh kebiasaan buruk itu mulai menular ke Irak, lewat tangan seorang sufi yang dijuluki al-Mula Umar bin Muhamad, kemudian kebiasaan itu mulai menyebar ke penjuru dunia, akibat kejahilan terhadap agama dan taqlid buta.
Jadi, sebenarnya tujuan utama pengadaan maulid-maulid itu adalah rekayasa politis untuk melanggengkan kekuasaan bani Ubaid, dan bukan sama sekali dalam rangka merealisasikan kecintaan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ataupun kepada ahlul bait!! (Al-Ihtifal bi al-Maulid an-Nabawi, Nasy’atuhu-Tarikhuh-Haqiqatuh-Man Ahdatsuh, Ibrahim bin Muhammad al-Huqail, hal: 5).
Hal lain yang perlu kita ketahui adalah hakikat akidah orang-orang yang pertama kali mengadakan perayaan maulid ini. Dan itu bisa kita ketahui dengan mempelajari hakikat kerajaan Bani Ubaid. Bani Ubaid adalah keturunan Abdullah bin Maimun al-Qaddah yang telah terkenal di mata para ulama dengan kekufuran, kemunafikan, kesesatan dan kebenciannya kepada kaum mukminin. Lebih dari itu dia kerap membantu musuh-musuh Islam untuk membantai kaum muslimin, banyak di antara para ulama muslimin dari kalangan ahli hadits, ahli fikih maupun orang-orang shalih yang ia bunuh. Hingga keturunannya pun tumbuh berkembang dengan membawa pemikirannya, di mana ada kesempatan mereka akan menampakkan permusuhan itu, jika tidak memungkinkan maka mereka akan menyembunyikan hakikat kepercayaannya (Lihat: Ar-Raudhatain fi Akhbar ad-Daulatain, Abu Syamah asy-Syafi’i, (I/198), Mukhtashar al-Fatawa lil Ba’li, hal: 488).
Adapun hakikat orang yang pertama kali mengadakan maulid yaitu al-Mu’iz lidinillah al-’Ubaidi, maka dia adalah orang yang gemar merangkul orang-orang Yahudi dan Nasrani, kebalikannya kaum muslimin dia kucilkan, dialah yang mengubah lafadz azan menjadi “Hayya ‘ala khairil ‘amal”. Yang lebih parah lagi, dia turut merangkul paranormal dan memakai ramalan-ramalan mereka (Lihat: Tarikh al-Islam karya adz-Dzahabi XXVI/350, an-Nujum az-Zahirah fi Muluk al-Mishr wa al-Qahirah karya Ibnu Taghribardi IV/75). Inilah hakikat asal sejarah maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dan perlu diketahui, bahwa kecintaan kita kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidaklah diukur dengan merayakan hari kelahiran beliau atau tidak merayakannya. Bukankah kita juga mencintai Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali dan puluhan ribu sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lainnya? Apakah kita juga harus merayakan hari kelahiran mereka semua, untuk membuktikan kecintaan kita kepada mereka? Kalau begitu berapa miliar dana yang harus dikeluarkan? Bukankah lebih baik dana itu untuk membangun masjid, madrasah, shadaqah fakir miskin dan maslahat-maslahat agama lainnya?
Saking berlebihannya sebagian orang dalam masalah ini, sampai-sampai orang yang senantiasa berusaha menegakkan akidah yang benar, rajin sholat lima waktu di masjid, dan terus berusaha untuk mengamalkan tuntunan-tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lainnya, tidak dikatakan mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, hanya karena dia tidak mau ikut maulid. Sebaliknya setiap orang yang mau ikut maulid, entah dia sholatnya hanya setahun dua kali (idul adha dan idul fitri), atau dia masih gemar maksiat, dikatakan cinta kepada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bukankah ini salah satu bentuk ketidakadilan dalam bersikap?
Semoga kita semua termasuk orang-orang yang merealisasikan kecintaan yang hakiki kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mohon maaf atas segala kekurangan.
Wallahu ta’ala a’lam, wa shallallahu ‘ala nabiyyyina muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in.
***
Penulis: Ustadz Abdullah Zaen, Lc.
Artikel www.muslim.or.id

KOMENTAR ANDA