Saudariku,
Bagaimana sikap kita jika mendapatkan teguran dari orang lain saat kita
melakukan kesalahan? Apakah kita menerimanya begitu saja mengingat dia
orang yang kita segani atau takuti, atau mungkin kita justru merasa
sebal dan terhina karena peringatan itu datang dari orang yang tidak
kita sukai atau kita anggap lebih rendah dari kita? Ataukah kita justru
merasa cuek dengan segala kesalahan dan peringatan yang ditujukan
kepada kita, karena merasa bahwa hidup kita adalah milik kita
sepenuhnya?
Teguran yang baik adalah yang menghendaki kita
untuk kembali ke kebenaran. Sementara kebenaran itu hanya satu, yaitu
yang datang dari Allah dan RosulNya. Alangkah jahil dan berdosanya
kita jika tidak tahu hakikat kebenaran. Oleh karena itulah menuntut
ilmu syar’i diwajibkan bagi kita, agar kita mengetahui dan kita tidak
terjerumus pada kesalahan (kejelekan) yang boleh jadi menurut pendapat
kita itu justru sebuah kebenaran (kebaikan).
Setiap Kita Akan Diminta Bertanggung Jawab
Sadarilah Saudariku,
Allah
Ta’ala memberikan kepada kita anggota tubuh untuk bergerak, akal
untuk berpikir, ini semua kenikmatan yang harus disyukuri, dengan cara
menggunakannya untuk beribadah kepada Allah Ta’ala semata, dan
beraktifitas keduniawiaan yang bermanfaat dalam kebaikan. Ingatlah
firman Allah Ta’ala,
“Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggung jawaban)?” (QS. Qiyamah: 36)
Hendaknya
kita berhati-hati dalam berucap dan berbuat, karena semua pasti akan
dimintai pertanggungjawaban oleh Allah Ta’ala di akhirat. “Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya.” (QS. Al Isra’: 36)
Dan
balasan yang disediakan oleh Allah Ta’ala di akhirat kelak sesuai
dengan amalnya di dunia. Perhatikanlah firman Allah Ta’ala,
“Bagi
orang-orang yang memenuhi seruan Tuhannya, (disediakan) pembalasan
yang baik. Dan orang-orang yang tidak memenuhi seruan Tuhan, sekiranya
mereka mempunyai semua (kekayaan) yang ada di bumi dan (ditambah)
sebanyak isi bumi itu lagi besertanya, niscaya mereka akan menebus
dirinya dengan kekayaan itu. Orang-orang itu disediakan baginya hisab
yang buruk dan tempat kediaman mereka ialah Jahanam dan itulah
seburuk-buruk tempat kediaman.” (QS. Ar-Ra’du:18)
Mengikuti Kebenaran Bukan Berdasarkan Pada Pembawanya, Tapi Pada Apa Yang Dibawanya
Abu Yazid bin Umairah, yakni salah seorang sahabat Muadz bin Jabal, pernah menceritakan, “Setiap
kali Muadz bin Jabal duduk dalam satu majlis, ia pasti berkata,
‘Allah adalah Yang Maha Bijaksana Lagi Maha Adil, sungguh Maha Suci
Allah. Binasalah orang-orang yang meragu’. Lalu ia menceritakan hadits
tersebut, di mana di dalamnya disebutkan, ‘Aku pernah bertanya kepada
Muadz, ‘Apa pendapatmu tentang seorang hakim yang telah memutuskan
perkara dengan salah ?’ Beliau menjawab, ‘Begini, bila pendapat hakim
jelas-jelas salah tanpa ada keraguan, maka jangan diikuti, namun
janganlah hal itu membuatmu berpaling darinya. Karena mungkin saja ia
meralat ucapannya dan mengikuti yang benar apabila ia telah
mengetahuinya. Sesungguhnya kebenaran itu membawa cahaya’.”
Dari
Abdurrahman bin Abdulah bin Mas’ud, dari ayahnya diriwayatkan bahwa
ada seorang lelaki yang datang menemui Ibnu Mas’ud dan berkata, “Wahai Abu Abdirrahman, ajarkan padaku beberapa kata yang sederhana dan padat lagi berguna.” Abdullah berkata, “Janganlah
engkau menyekutukanNya dengan sesuatu pun, berjalanlah seiring dengan
ajaran al Qur’an ke manapun engkau mengarah, dan barangsiapa yang
datang kepadamu membawa kebenaran, terimalah, meskipun ia orang yang
jauh yang engkau benci, dan barangsiapa yang datang kepadamu membawa
kebatilan, tolaklah, meskipun ia adalah kerabat yang engkau cintai.”
Mayoritas Bukan Berarti Benar
Tahukah Saudariku,
Setiap
hal yang kita anggap benar, dan juga dianggap benar oleh kebanyakan
orang (mayoritas), tidaklah selalu benar dalam timbangan syari’at,
karena kebenaran tidak diukur dengan pertimbangan hawa nafsu, akal
(ra’yu), ataupun diukur dari pendapat mayoritas (jumhur, demokrasi),
sehingga Allah Ta’ala pun mengingatkan kita dalam firmanNya,
“Dan
jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini,
niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain
hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah
berdusta (terhadap Allah).” (QS. Al-An’am: 116)
Dari Abdurrahman bin Yazid diriwayatkan bahwa ia menceritakan, “Abdullah
berkata, ‘Janganlah kamu sekalian menjadi imma’ah.’ Orang-orang yang
hadir bersama beliau bertanya, ‘Apakah arti imma’ah itu?’ Beliau
menjawab, ‘Yaitu sikap orang yang menyatakan, ‘Saya ikut dengan
kebanyakan mereka, baik dalam hal yang ada petunjuknya atau pun dalam
hal yang tidak ada petunjuknya (kesesatan).’ Ingatlah, hendaknya
masing-masing di antara kamu menguatkan dirinya, yakni bila orang
banyak itu kufur, maka engkau tidak ikut kufur.”
Mengikuti Kebenaran Dengan Mengetahui Hujjahnya, Tidak Dengan Taklid Buta
Saudariku,
Sangat
penting bagi kita untuk mengetahui dasar dari setiap hal yang akan
kita lakukan, dan tidak hanya mengikuti begitu saja (taklid) apa yang
dikatakan dan diperbuat oleh orang lain. Karena masing-masing kita di
akhirat nanti akanbertanggung jawab kepada Allah, bukan kepada
kebanyakan orang tersebut. Para ulama’ pun sangat berhati-hati dalam
hal ini.
Mutharrif telah menceritakan, “Kami telah mendatangi
Zaid bin Shuhan. Beliau kala itu berkata, “Wahai hamba-hamba Allah,
milikilah sifat mulia dan berbuatlah kebajikan. Sesungguhnya sarana
para hamba mendapatkan keridhaan Allah hanya dua hal: rasa takut dan
rasa tidak puas.” Suatu hari, aku menemui beliau. Kala itu orang-orang
telah menulis surat kepadanya yang isinya: “Sesungguhnya Allah adalah
Rabb kita, Muhammad adalah Nabi kita, al-Qur’an adalah imam kita,
barangsiapa yang sependapat dengan kami, maka kami dan mereka adalah
sama. Dan barangsiapa tidak sependapat dengan kami, tangan kami akan
bertindak atas mereka. Kami adalah kami.” Diceritakan, bahwa beliau
menyodorkan surat itu kepada teman-temannya satu persatu sambil
bertanya, “Apakah engkau menyetujuinya?” Hal itu terus beliau lakukan,
hingga sampai kepadaku. Beliau bertanya, “Apakah engkau menyetujuinya
wahai anakku?” Aku menjawab, “Tidak.” Zaid berkata, “Janganlah kalian
terburu-buru menyikapi anak ini. Apa pendapatmu wahai anakku?” Aku
menjawab, “Sesungguhnya saya tidak akan menerima perjanjian selain
perjanjian yang telah Allah ambil atas diriku.” Maka orang-orang itu
pulang semuanya, setelah jatuh pertanyaan kepada orang terakhir, dan
akhirnya tak seorang pun di antara mereka yang menyetujui perjanjian
itu. Padahal mereka adalah orang-orang terhormat yang berjumlah tiga
puluh orang.”
Saudariku,
Setiap manusia di dunia ini (kecuali Rosulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam
yang maksum) adalah makhluk yang pasti mempunyai kesalahan yang
terkadang tidak kita sadari, sehingga kita pun wajib untuk terus
belajar agama agar tidak terjerumus ke dalam kesalahan tersebut.
Dari Abul Ahwash, dari Abdullah diriwayatkan bahwa ia menceritakan, “Janganlah
seorang itu bertaklid kepada orang lain dalam urusan diennya, yang
apabila orang lain itu beriman, ia ikut beriman dan bila orang itu
kafir maka ia pun ikut kafir. Kalaupun kita harus bertaklid, hendaknya
kita bertaklid kepada (tauladan) yang sudah mati (maksudnya Rasulullah
shollallahu ‘alaihi wa sallam). Karena orang yang masih hidup, masih
belum dijamin selamat dari petaka.”
Kebenaran Hanya Datang dari Al Qur’an dan Sunnah
Terbukalah Saudariku,
Para
ulama selalu bersikap jujur dan rendah hati terhadap kebenaran yang
mereka terima. Mereka tidak menyuruh orang lain untuk mengikuti
pendapatnya dengan taklid buta, tapi mereka menghendaki orang lain
untuk tidak mengikuti pendapatnya jika itu memang bertentangan dengan
Kitab dan Sunnah.
Ar Rabi’ menceritakan, “Aku pernah mendengar
Asy Syafi’i berkata, ‘Apabila dalam bukuku kalian mendapati sesuatu
yang tidak sesuai dengan sunnah Rosulullah, maka ambillah sunnah itu
sebagai pegangan, dan tinggalkan apa yang aku katakan.”
Juga dari Ar Rabi’, “Aku
pernah mendengar Syafi’i ditanya oleh seorang laki-laki, ‘Apakah
engkau berpendapat dengan hadist yang engkau sebutkan itu wahai Abu
Abdillah?’ Beliau menjawab, ‘Apabila aku meriwayatkan hadits, lalu
tidak kujadikan sebagai pendapatku, saya jadikan kalian semua sebagai
saksi, bahwa akalku sudah hilang’.”
Al Humaidi menceritakan, “Suatu
hari Imam Syafi’i meriwayatkan hadist. Aku lantas bertanya, ‘Apakah
engkau menjadikannya sebagai pendapatmu?’ Beliau menjawab, ‘Apakah
engkau melihat aku sedang keluar dari gereja atau aku tengah
mengenakan sabuk simbol Ahli Kitab, sehingga ketika aku mendengar dari
Rosulullah satu hadist, tak kujadikan sebagai pendapatku?’”
Ar Rabi’ pernah menceritakan, aku pernah mendengar Syafi’i menyatakan, “Langit
mana lagi tempat aku berteduh, dan bumi mana lagi tempat aku
berpijak, apabila aku meriwayatkan hadist Rosulullah lalu tidak
kujadikan sebagai pendapatku?”
Adz Dzahabi menceritakan, “Dalam
Musnad Syafi’i disebutkan riwayat dengan sima’i (dengan cara
mendengar), Abu Hanifah bin Samak telah mengabarkan kepada saya, Ibnu
Abi Dzi’bin telah memberitakan kepada kami, dari al Maqburi, dari Abu
Syuraih, bahwa Rosulullah bersabda, “Barangsiapa terbunuh sanak
familinya, ia memiliki salah satu dari dua pilihan: kalau suka, ia
bisa meminta qishash, kalau suka ia juga bisa mengambil diyat (uang
ganti rugi).” Aku bertanya kepada Ibnu Abi Dzi’bin, “Apakah engkau
menjadikannya sebagai pendapatmu?” Beliau memukul dadaku sambil
berteriak keras sampai membuatku kesakitan, sambil berkata, “Apakah
layak apabila aku menyampaikan hadist Rosulullah kepadamu, lalu engkau
bertanya kepadaku, “Apakah engkau menjadikannya sebagai pendapatku?”
Jelas aku menjadikannya sebagai pendapatku, dan itu adalah kewajiban
atas diriku dan atas setiap orang yang mendengarnya. Sesungguhnya
Allah memilih Muhammad dari kalangan manusia lalu melalui beliau Allah
memberi petunjuk kepada mereka melalui kedua tangan beliau. Maka satu
kewajiban atas umat manusia untuk mengikuti beliau dengan penuh
ketaatan dan penuh ketundukan. Tak ada jalan lain bagi seorang
muslim.”
Abul ‘Aina telah menceritakan kepada kami, “Tatkala
al Mahdi berhaji, beliau memasuki masjid Rosulullah. Setiap orang
yang ada bersama beliau berdiri (sebagai penghormatan), kecuali Ibnu
Abi Dzi’bin. Maka Musayyab bin Zubair berkata, ‘Berdirilah. Itu Amirul
Mukminin.’ Ia menjawab, ‘Sesungguhnya manusia hanya oleh berdiri
menghormat kepada Rabbul ‘alamin.’ Al Mahdi lalu berkata, ‘Biarkan dia.
Seluruh rambut di kepalaku sudah berdiri semua’.”
Perhatikanlah
sikap ulama dan kerendahan hati mereka dalam menerima kebenaran dan
teladanilah mereka. Karena tidaklah seorang mukmin diperkenankan untuk
menghukumi sesuatu serta beramal sebelum ia mengetahui dalilnya dari
Qur’an dan Sunnah, sebagaimana firman Allah, “Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan RasulNya dan bertakwalah
kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha
Mengetahui.”
Kebenaran Bukanlah dari Hawa Nafsu
Saudariku,
Tanyakanlah
lagi pada hati kecil kita, benarkah kita ini mukmin, sudah benarkah
cara kita beriman, kemudian tanyakan lagi, apakah keimanan kita itu
sudah seperti apa yang diinginkan Allah. Karena jika hati kita masih
merasa tidak cocok/’sreg’ dengan syari’at yang kita terima (terasa ada
penolakan dan keraguan dalam hati kita), maka kita harus berhati-hati
jangan sampai kita menjadi orang yang munafik yang disebutkan dalam
firman Allah,
“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang
beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran
yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti
orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al Kitab kepadanya,
kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka
menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang
fasik.” (QS. Al Hadid: 16)
Saudariku,
Jadikanlah
hati kita ini hati yang hidup, hati yang sehat, hati yang selamat,
yang jika ia mendengar suatu perintah agama (syari’at) sesuai Al
Qur’an dan As Sunnah, maka ia melaksanakan tanpa menanyakan sebabnya,
begitu juga saat mendengar ada larangan syari’at. Janganlah kita
menimbang-nimbang, jika nanti perintah/larangan itu menguntungkan
kita, maka kita akan patuh padanya. Jika ini yang kita lakukan, maka
ketundukan kita terhadap kebenaran bukanlah karena mencintai Allah dan
RosulNya, tapi karena hawa nafsu, dan ini termasuk syirik, karena kita
beramal bukan karena Allah.
Berusahalah untuk melakukan
kebenaran tersebut. Jika kita belum mampu melakukannya, maka
setidaknya kita tidak menolaknya, tapi tanamkan dalam hati bahwa
‘inilah yang paling benar, yang akan dapat menyelamatkanku’ dan
berusahalah semampunya untuk belajar mengamalkannya sedikit demi
sedikit sehingga tidak ada lagi penolakan dalam hati kita dan kita
dapat dengan ringan mengamalkannya.
Dari Syafi’i diriwayatkan bahwa ia menceritakan, “Setiap
orang yang membangkang dan menentangku ketika aku melakukan
kebenaran, akan kupandang sebelah mata. Dan setiap yang menerima
kebenaran itu, pasti aku segani dan aku yakin bahwa aku mencintainya.”
Diriwayatkan bahwa Hatim al Ashan berkata, “Aku
senang bila orang yang mendebat diriku ternyata dia benar. Sebaliknya
aku bersedih kalau orang yang mendebat diriku ternyata keliru.”
Demikianlah Saudariku,
Sikap
para ulama dalam menerima kebenaran. Hendaknya kita sebagai tholabul
‘ilmi juga mengikuti jejak para pewaris Nabi tersebut, sehingga sikap
kita ini akan menyelamatkan diri kita dari kesesatan yang ditimbulkan
oleh hawa nafsu dan kejahilan kita.
Maraji’: Belajar Etika dari Generasi Salaf (Abdul Aziz bin Nashir al Jalil Bahauddinin Fatih Uqail)
***
Artike